Selasa, 19 April 2016

PENGANTAR ILMU HUKUM (AZAS-AZAS HUKUM DAN SUMBER HUKUM)






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mengenai ilmu hukum ada seberapa dasar-dasar yang harus di pelajari, azas-azas mengenai ilmu hukum merupakan sebuah dasar, sebuah landasan, sebuah pijakan untuk mempelajari lebih dalam mengenai hukum, disamping itu azas merupakan prinsip awal dalam mempelajari pengertian hukum.
Dimana ada masyarakat pasti ada yang namanya hukum, maka dari itu hukum memerlukan dua aspek peran, yaitu subyektif dan obyektif, subyetif dari hukum adalah manusia sedangkan obyek dari hukum itu berupa perintah dan larangan
Gambaran mengenai isi hukum itu ada beberapa hal yang harus diketahui yaitu perbuatan hukum, perbuatan yang bukan perbuatan hukum, keadaan yang nyata, perkembangan fisik kehidupan manusia dan kejadian-kejadian lain.
Sumber hukum merupakan asal terbentuknya suatu hukum yang dimana terbentuk undang undang, hukum adat, yurisprudensi, traktat, doktrin. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenalnya hukum secara historis.
   
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Azas-azas Hukum ?
2.      Apa poin penting dari subyek, obyek dan peristiwa hukum ?
3.      Bagaiman isi hukum dan hubungan hukum ?
4.      Apa saja sumber hukum yang terdapat di sebuah hukum ?  



C.    Tujuan
1.      Mengetahui azas-azas hukum
2.      Mengetahui poin penting apa itu subyek hukum, obyek hukum, dan peristiwa hukum
3.      Mengetahu isi hukum dan hubungan hukum
4.      Mengetahui sumber hukum

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Azas-azas Hukum
Azas-azas hukum ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Azas-azas itu dapat disebut juga pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Azas-azas itu merupakan titik tolak juga bagi pembentukan undang-undang dan interpretasi undang-undang tersebut (Azas hukum berbeda dengan asal atau sumber hukum).
Sejak zaman dahulukala orang-orang sudah berkeyakinan bahwa manusia tidak dapat membuat undang-undang dengan sewenang-wenang saja. Dengan kata lain: orang orang yakin adanya prinsip-prinsip tertentu, yang lebih tinggi dari pada hukum yang ditentukan manusia. Perlu dibedakan antara azas-azas hukum obyektif dan subyektif. Azas-azas hukum obyektif yaitu prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi pembentukan peraturan-peraturan hukum; azas-azas hukum subyektif yaitu prinsip-prinsip yang menyatakan kedudukan subjek berhubungan dengan hukum.[1]
Hukum Objektif ialah segala prinsip yang menjadi dasar dalam membentuk suatu peraturan hukum. sedangkan hukum subjektif ialah segala prinsip yang menggambarkan bahwa kedudukan subjek atau tokoh atau pelaku yang ada hubungannya dengan segala aspek hukum.
Azas-azas hukum ada tiga  macam:
1.         Azas-azas hukum objektif yang bersifat moral. Prinsip-prinsip itu telah ada pada para pemikir Zaman Klasik dan Abad Pertengahan.
2.         Azas-azas hukum objektif yang bersifat rasional yaitu prinsip-prinsip yang termasuk pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional. Prinsip-prinsip ini juga telah diteriama sejak dahul, akan tetapi baru diungkapkan secara nyata sejak mulainya zaman modern, yakni sejak timbulnya negara-negara nasional dan hukum yang dibuat oleh kaum yuris secara profesional.
3.         Azas-azas hukum subjektif yang bersifat moral maupun rasional, yakni hak-hak yang ada pada manusia yang menjadi titik tolak pembentukan hukum. Perkembangan hukum paling nampak pada bidang ini.
Perbedaan antara azas-azas rasional dan azas-azas moral terletak dalam hal ini, bahwa azas-azas hukum rasional umumnya dianggap sebagai bertalian dengan suatu aturan hidup bersama yang masuk akal, dan karenanya diterima sebagai titik tolak bagi pembentukan suatu tata hukum yang baik. Sedangkan azas-azas hukum moral lebih-lebih dipandang sebagai unsur idiil. Yang belum tentu dapat diwujudkan dalam tata hukum yang direncanakan.[2]
1.         Azas-azas rasional hukum
Di antara azas-azas hukum rasional disebut baik azas-azas bagi hukum objektif (undang-undang) maupun bagi hukum subjektif (hak), antara lain:
a.       Hak manusia sebagai pribadi
b.      Kepentingan masyarakat; prinsip ini harus diseimbangkan dengan prinsip hak manusia sebagai pribadi
c.       Kesamaan hak didepan pengadilan
d.      Perlindungan terhadap yang kurang mampu
e.       Tidak ada ganti rugi tanpa kesalahan.
Kiranya dapat dibenarkan bahwa terbentuknya undang-undang mengandaikan penerimaan prinsip-prinsip rasional tertentu. Akan tetapi prinsip-prinsip yang dikemukakan agak abstrak. Bila prinsip-prinsip tersebut diterapkan pada suatu situasi hidup yang kongkret, belum tentu orang-orang sampai pada suatu persetujuan bersama tengtang peraturan yang harus ditetapkan.

2.         Azas-azas moral hukum
Azas moral hukum yang paling umum berbunyi: lakukanlah yang baik hindarkanlah yang jahat. Lagi yang berikut: hiduplah secara terhormat, jangan merugikan orang, berikanlah kepada tiap-tiap orang menurut haknya. Azas-azas tersebut disusul perintah-perintah moral yang lebih terperinci, seperti jangan membunuh, jangan berdusta, dan sebagainya. Sejak zaman Romawi prinsip-prinsip moral ini dipandang sebagai hukum kodrat, entah hukum itu dianggap berkaitan dengan kehendak Tuhan entah tidak.[3]
Mengenai azas-azas hukum dan agama bahwa hukumm harus berpedaoman pada prinsip-prinsip moral tidak hanya diterima orang, oleh sebab itu sesuai dengan keyakinan hati nuraninya, tetapi juga sebab itu diperintah oleh agama. Bahkan dalam ajaran agama-agama sendiri terdapat norma-norma tentang cara orang-orang harus mengatur hidup bersama mereka, entah itu norma-norma moral, entah juga norma-norma yang bercorak yuridis.
Agama memberikan inspirasi bagi suatu kehidupan politik dan yuridis yang baik, khususnya dengan menunjang keadilan dalam hidup bersama. Karenanya dapat dikatakan juga bahwa ajaran moral agama berfungsi sebagai azas bagi suatu pengaturan hidup bersama yang baik.[4]
Tetapi sekaligus menjadi jelas juga bahwa bukan seluruh ajaran moral agama dapat menjadi azas hukum. Norma-norma kesusilaan tertentu, yang dijunjung tinggi oleh orang beragama dan dipandang sebagai bagian suatu kehidupan yang ideal, belum tentu dapat dijadikan norma hukum. Asalnya bukan pertama-tama, bahwa terdapat perbedaan pandangan dalam agama-agama tentang berlakunya norma-norma kesusilaan tertentu, akan tetapi kenyataan bahwa norma-norma moral terlalu tinggi untuk dapat ditaati oleh sembarang orang. Dalam membentuk suatu aturan hukum harus diperhitungkan kondisi manusia di dunia ini (condition humaine) manusia adalah suatu makhluk yang lemah dan berdosa. Supaya cocok dengan realitas  hidup suatu tata hukum harus lebih longgar dari pada moral agama (seperti nyata a.l. dalam peraturan mengenai pelacuran, yang di tolak oleh moral, tetapi diterima dalam tata hukum). Untuk dapat menentukan apa yang cocok dengan realitas hidup, sehingga dapat di bentuk sebagai hukum, harus digunakan kriteria rasional. Untung rugi tiap tiap peraturan harus di pertimbangkan.
B.     Subyek, Obyek dan Peristwa Hukum
1.      Subyek Hukum
Subyek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atausiapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum.[5]
Subyek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak (rehtsbevoegdheid).
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban
Pada dasarnya yang dapat menjadi subyek hukum adalah manusia/orang atau person.
Hukum subyek umumnya dianggap sebagai akibat hukum obyektif. Yang dimaksud dengan hukum dalam arti subyektif adalah “ketentuan tentang kewenangan yang diberikan oleh norma-norma atau peraturan-peraturan hidup kepada orang-orang tertentu.
Aturan aturan hukum yang menentukan (1) apa yang dimaksudkan dengan hak milik, (2) bagaimana memperoleh hak milik itu, (3) bagaimana terjadinya kehilangan hak milik itu, kesemua ini adalah bagian dari hukum obyektif. Akan tetapi apabila kita membicarakan tetntang hak milik seseorang (A misalnya) maka ini berarti kita sedang membicarakan hukum subyektif.
Menurut APELDOORN dalam bukunya “, inlaiding tot de studie van het Nederlandse recht”, hukum subyektif adalah peraturan hukum yang dihubungkan pada seseorang (subyek) dan demikian memberi hak dan kewajiban kepada orang itu.[6]
2.      Obyek hukum
 Hukum dalam arti obyektif adalah “keseluruhan aturan mengenai perilaku orang orang yang masih hidup didalam ikatan kemasyarakatan, yang harus di patuhi dengan sebaik-baiknya, aturan-aturan mana yang bertujuan untuk mengatur serta melindungi kepentingan orang-orang itu dan sesamanya didalam antar hubungan dan antar kegiatan pergaulan sehari-hari.
Dapat pula dinyatakan bahwa tanpa adanya kehidupan bersama hukum itu tidak akan ada dan tanpa hukum tidak dapat dibayangkan suatu kehidupan bersama, pepatah latin malah menyatakan “Ubi Societes, ib ius” atau dengan lain perkataan yang lebih tegas “masyarakat dan hukum itu tidak mungkin di pisah-pisahkan”.
Tujuan hukum membawa manusia kearah suasana yang serba berkeadilan, berketenangan didalam interrelasi orang orang, badan-badan hukum dan sesamanya. Hukum dalam arti obyektif berusaha menyelaraskan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat sebaik mungkin, dengan hukum dapat diusahakan tercapainya suatu keseimbangan harmonis diantara pemberian ke beberapa kepada individu dan perlindungan masyarakat terhadap kebebasan individu tersebut. Disatu pihak kepentingan individu terpenuhi dengan perlindungan masyarakat, misalnya:
a.         Setiap orang akan merasa aman dalam melakukan lalu lintas dengan adanya peraturan-peraturan lalu lintas;
b.        Setiap orang akan merasa tenang, aman dengan adanya ABRI untuk menangkis serangan lawan, melenyapkan terorisme;
c.         Hak milik seseoarang akan aman dari gangguan oarang-orang yang akan memperkosanya, dan lain sebagainya.
Dipihak lain kepentingan-kepentingan individu merongrong kepentingan-kepentingan masyarakat, misalnya:
a.         Kepentingan yang mendadak sehubungan dengan terjadinya kecelakaan anggota keluarga, cenderung orang tersebut untuk mengabaikan peraturan lalu lintas, karena terburu-buru untuk mendatangkan seoarang dokter;
b.        Kepentingan seorang bapak agar dapat memberi makan kepada anak-anaknya yang telah dua hari memperoleh pangan yang sangat minim, cenderung untuk melakukan perkaitan yang melanggar hukum karena kepentingan sangat mendesak yang tidak bisa ditangguhkan lagi (kelaparan).
Dengan memperhatikan urain diatas dapat dikatakan bahwa hukum obyektif adalah keseluruhan norma yang mengatur antar hubungan dan antar kegiatan sesama manusia dalam pergaulan hidup masyarakat.[7]
3.      Peristiwa hukum
1.      Pengertian Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum adalah suatu rechtfeit/suatu kejadian hukum. Suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari yang akibatnya diatur oleh hukum. Perbuatan dari tingkah laku subyek hukum yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subyek hukum atau karena subyek hukum itu terikat oleh kekuatan hukum. Peristiwa didalam masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum. Tidak semua peristiwa mempunyai akibat hukum, jadi tidak semua peristiwa adalah peristiwa hukum.[8]
2.      Macam-macam Peristiwa Hukum
Peristwa hukum itu dapat dibagi dalam berbagai golongan :
a.       Peristiwa menurut hukum dan peristiwa melanggar hukum
Contoh:
1)      kelahiran, kematian, pendudukan tanah, pencemaran laut
2)      lingkungan hidup, jual beli, sewa menyewa, pemberian kredit, pembukuan rekening pada Bank, perjanjian negara, pembunuhan, dan lain lain.
Kejadian peristiwa itu dapat terjadi karena perbuatan manusia dan keadaan. Suatu peristiwa dapat menimbulkan hukum.
Contoh :
Pasal 1239 KUH Perdata, yang berbunyi: “ tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu apabila tidak dipenuhi kewajiban itu oleh si-berutang maka ia berkewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bungi.[9]
b.      Peristiwa hukum tunggal dan peristiwa hukum majemuk
Peristiwa hukum tunggal, terdiri dari satu peristiwa saja. Contohnya: Hibah (pemberian)
Peristiwa hukum majemuk, terdiri lebih dari satu peristiwa. Contohnya: dalam perjanjian jual beli akan terjadi peristiwa tawar-menawar, penyerahan barang, penerimaan barang.
c.       Peristiwa hukum sepintas dan peristiwa hukum terus-menerus
Peristiwa hukum sepintas, seperti pembatalan perjanjian, tawar-menawar. Peristiwa ini batas waktunya tidak berkepanjangan namun langsung di rilkan
Peristiwa hukum terus-menerus, seperti perjanjian sewa menyewa. Uang sewa-menyewa berjalan bertahun-tahun.
C.    Isi Hukum dan Hubungan Hukum
1.      Isi hukum
Hukum menurut isinya terbagi menjadi dua yaitu:
a.       Perbuatan subyek hukum
Peristiwa hukum yang disebabkan oleh subyek manusia atau badan hukum dapat dibedakan dalam :
1)      Perbuatan hukum
Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan yang akibatnya di atur oleh hukum, karena akibat tersebut dapat dianggap menjadi kehendak dari yang melakukan perbuatan itu. Perbuatan ini dapat dibagi dalam :
a)      Perbuatan hukum yang sifatnya sederhana
Perbuatan hukum yang sifatnya sederhana ini merupakan perbuatan hukum yang bersegi satu, ialah apabila hanya merupakan satu kejadian saja ataupun apabila akbat hukumnya (rechtsgevolgen) ditimbulkan oleh kehendak seseorang saja, ialah orang yang melakukan perbuatan itu.
Contohnya : Pembuatan surat wasiat atau testamen pasal 875 KUH Perdata.[10]
b)      Perbuatan hukum yang bersifat tidak sederhana
Perbuatan hukum ini dapat bersegi dua atau lebih, ialah perbuatan hukum yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari dua atau lebih subyek hukum.
Contohnya: sewa menyewa, jual beli, perjanjian kredit, perjanjian deposito, semua perjanjian dan perikatan (overeenkomsten), seperti apa yang disebut dalam pasal 1313 KUH Perdata.[11]

2)      Perbuatan yang bukan perbuatan hukum
Yaitu setiap perbuatan hukum yang akibat hukumnya tidak dikehendaki oleh pelakunya, meskipun akibat tersebut diatur oleh hukum. Perbuatan yang bukan perbuatan hukum ini dibagi dalam:
a)      Perbuatan yang tidak dilarang oleh hukum seperti:
(1)   Zaakwaarneming
Yaitu tindakan memperhatikan kepentingan orang lain tanpa diminta oleh orang yang bersangkutan untuk memperhatikan kepentingannya (pasal 1354 KUH Perdata) contohnya: memperhatikan kepentngan A tanpa diminta atau disuruh oleh A.
(2)   Onverschuldigde betaling
Yaitu pembayaran utang yang sebenarnya tidak ada utang (pasal 1359 KUH Perdata). Contoh : A membayar uang pada B karena ia merasa mempunyai utang. Tetapi sebenarnya A tidak mempunyai utang pada B.[12]
b)      Perbuatan yang dilarang oleh hukum
Yang dimaksud dengan yang dilarang oleh hukum ialah semua perbuatan yang bertentangan dan melanggar hukum. Akibat hukum yang timbul tetap diatur oleh peraturan hukum, meskipun akibat itu tidak di kehendaki oleh pelakunya.
Perbuatan ini dinamakan “onrechtmatigedaad”, perbuatan hukum yang tidak dibenarkan oleh hukum contohnya: “A dan B sama-sama mengendarai mobil yang saling bertubrukan. Akibat dari tubrukan itu sudah jelas tidak di kehendaki oleh A maupun B. Namun demikian yang dianggap sudah diwajibkan memberi ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Penggantian ganti rugi tersebut didasarkan kepada asas dari pasal 1365 KUH Perdata. Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah perbuatan, melanggar, kerugian, kesalahan.
Apabila dalam suatu peristiwa terdapat 4 unsur tersebut diatas, maka sipelaku telah melakukan perbuatan melanggar hukum pasal 1365 KUH Perdata.[13]
b.      Peristiwa/ perbuatan yang bukan perbuatan hukum (perbuatan lainnya)
Peristiwa hukum yang bukan karena perbuatan manusia/ karena perbuatan lainnya dibedakan dalam 3 bagian
1)      Keadaan yang nyata
a)      Kepailitan
Karena keadaan pailit mengakibatkan individu atau suatu badan hukum, tidak dapat membayar utang utangnya secara penuh. Hal ini diatur dalam pasal satu Undang-undang Kepailitan.[14]
Bunyi pasal 1 Undang-undang Kepailitan adalah sebagai berikut:
Ayat 1: setiap berutang yang berada dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya, harus dinyatakan berada dalam keadaan pailit dengan putusan hakim baik atas pelaporan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih para berpiutang”
Ayat 2: pernyataan pailit itu boleh diucapkan juga berdasarkan pada kepentingan umum atas tuntunan kejaksaan
b)      Kadaluarsa
Kadaluarsa untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewat waktu syarat-syarat tertentu, seperti dikemukakan oleh pasal 1946 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : “Daluwarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari sesuatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang”[15]  
2)      Perkembangan fisik kehidupan manusia
a)      Kelahiran
Kelahiran membawa kewajiban bagi orang tua untuk memelihara dan mendidik anak itu serta memberi tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut.[16]
Kelahiran menimbulkan langsung hak dari anak untuk mendapat pemeliharaan dari orang tuanyahal ini terlihat dalam pasal 298 ayat 2 KUH Perdata, yang berbunyi: “Si bapak dan si ibu, keduanya wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang tua untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban memberi tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membayai pemeliharaan dan pendidikan.
b)      Kedewasaan
Anak-anak yang telah dewasa mempunyai kewajiban untuk memberi ongkos kepada orang tuanya, terlebih lagi apabila orang tuanya tidak mampu atau tidak mempunyai penghasilan. Kewjiban ini berlaku juga bagi anak anak menantu, laki-laki maupun perempuan untuk memberi nafkah kepada ibu-bapak mertua mereka. Hal ini sesuai dengan ketentuan  pasal 321 dan 322 KUH Perdata.[17]
Pasal 321 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut : “ tiap-tiap anak berkewajiban untuk memberi nafkah kepada kedua orang tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis keatas apabila mereka dalam keadaan miskin”. 
c)      Kematian
Kematian seseorang juga merupakan suatu peristiwa hukum menimbulkan akibat hukum. Pada saat kematian ini hak dan kewajiban lenyap dan tmbul bersamaan artinya lenyapnya hak dan kewajiban bagi yang meninggal dan tumbuhnya hak dan kewajiban bagi para ahli waris.
Kematian mengakibatkan anak, cucu dan para ahli waris lainnya berhak atas harta peninggalan/harta warisan warisan dari almarhum atau yang meninggal.
Jika timbul perselisihan sekitar soal siapakah yang berhak memperoleh hak milik maka hakim memerintahkan agar segala harta peninggalan si yang meninggal ditaruh terlebih dahulu dalam penyimpanan.
Dapat disimpulkan bahwa kematian menimbulkan : melenyapkan hak bagi yang menimbulkan hak, dan menimbulkan hak bagi ahli waris.
3)      Kejadian kejadian lain
Contoh : pasal 1553 KUH Perdata yang berbunyi : “jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum”.
Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menurut keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa; tetapi tdak dalam satu dari kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi.
Dari pasal tersebut dapat diartikan, bahwa misalnya ada sebuah rumah yang disewakan disambar petir sehingga habis terbakar, akan mengakibatkan lenyapnya perjanjian sewa menyewa[18]     
2.      Hubungan hukum
Hubungan hukum ialah hubungan antara dua atau lebih subyek hukum. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.
Kita semua mengetahui bahwa hukum itu mengatur hubungan antara orang yang satu orang yang lain, antara orang dengan masyarakat, antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Jadi salam semua hubungan didalam masyarakat diatur oleh hukum.[19]
      Barang siapa yang mengganggu atau tidak mengindahkan hubungan ini, maka ia dapat dipaksa oleh hukum untuk menghormatinya.
Mengenai hubungan hukum ini, Logemann berpendapat, bahwa dalam tiap hubungan hukum terdapat pihak yang berwenang/ berhak meminta prestasi yang disebut dengan “prestatie subject” dan pihak yang wajib melakukan prestasi yang disebut “plicht subject”.
a.         Segi hubungan hukum
Tiap hubungan hukum mempunyai dua segi yaitu pertama ialah kewenangan yang disebut hak dan kewajiban adalah segi pasif daripada hubungan hukum. Hak dan kewajiban ini kedua duanya timbul dari satu peristiwa hukum.[20]
b.        Unsur-unsur hubungan hukum
Hubungan hukum memiliki tiga unsur sebagai berikut:
1)      Adanya orang-orang yang hak/kewajiban saling berhadapan.
2)      Adanya obyek yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban
3)      Adanya hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau adanya hubungan atas obyek yang bersangkutan.
c.         Syarat-syarat dari pada hubungan hukum
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum itu baru ada apabila telah dipenuhinya sebagai syarat, ada dua syarat yaitu pertama adanya dasar hukum, ialah peraturan peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum itu dan yang kedua timbulnya peristiwa hukum.
d.        Macam/jenis hubungan hukum
Hubungan hukum itu ada tiga macam:
1)      Hubungan hukum yang bersegi satu
2)      Hubungan huku yang bersegi dua
3)      Hubungan antara “satu” subyek hukum dengan “semua” subyek hukum lainnya.[21]



D.    Sumber-Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa sehingga apabila aturan aturan itu dilanggar akan menmbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.
Yang dimaksud dengan segala sesuatu adalah faktor faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal artinya dari mana hukum itu dapat dtemukan, dari mana asal mulanya hukum, dimana hukum dapat dicari atau hakim menemukan hukum, sehingga dasar putusannya dapat diketahui bahwa suatu peraturan terteuntu mempunyai kekuatan mengikat atau berlaku dan lain sebagainya.
Sumber hukum itu dapat kita tinjau dari segi material dan segi formal; sumber-sumber hukum material dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya, sedangkan sumber-sumber hukum formal antara lain ialah undang-undang, kebiasaan, keputusan-keputusan hakim (yurisprudensi), traktat, pendapat sarjana hukum (doktrin)

1.         Undang undang
Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.[22]
2.         Kebiasaan
Kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum. [23]
3.         Keputusan keputusan hakim
Dari ketentuan pasal 22 A.B. ini jelaslah, bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian, apabila undang undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri[24].
4.         Traktat
Apabila dua orang mengadakan kata-sepakat (konsensus) tentang suatu hal, maka mereka itu lalu melakukan perjanjian. Akibat perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada isi perjanjian yang mereka adakan itu.
5.         Pendapat sarjana hukum
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.
Dalam yurisprudensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Dalam penetapan apa yang akan menjadi dasar keputusannya, hakim sering menyebut pendapat seseorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikan; apalagi jika sarjana hukum itu menentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut.[25]

BAB III
KESIMPULAN

Pengertian dari azas-azas hukum ialah prinsip prinsip yang dianggap dasar di sebuah hukum, atau peraturan-peraturan yang menjadi pondasi bagi peraturan peraturan yang selanjutnya, azas hukum yang paling dasar ialah konstitusi, dimana hukum diatasnya tidak bisa dikalahkan oleh hukum-hukum di bawahnya.
Manusia sebagai peran utama dalam sebuah hukum, dimana ada masyarakat maka pasti ada hukum, maka dari itu dimana ada subyek maka disitu ada obyek, obyek dari hukum ialah peraturan perintah dan larangan. Diantara keduanya menimbulkan sebuah peristiwa, yang dimana setiap peristiwa tidak selamanya berkaitan dengan hukum
Undang-undang merupakan sumber hukum yang pertama karena undang undang di bentuk melalui campur tangan lembaga negara berkat dorongan dari masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

G. Kartasapoetra Rien. 1988. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Penerbit Bina Aksara Anggota IKAPI

G. Kartasapoetra Rien. 1990. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap. Jakarta; Bina Askara,
S. T. Kansil. C. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
Soeroso R. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika





[1] Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Jakarta: Bina Askara, 1990), hal 81
[2] Ibid,  hal 87
[3] Ibid, hal 88
[4] Ibid, hal 90
[5] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 228
[6] Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Penerbit Bina Aksara Anggota IKAPI, 1988), hal 23
[7] Ibid, hal 22
[8] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 251
[9] Ibid hal 252
[10] Ibid, hal 254
[11] Ibid, hal 254
[12] Ibid, hal 255
[13] Ibid, hal 256
[14] Ibid, hal 263
[15] Ibid, hal 263
[16] Ibid, hal 265
[17] Ibid, hal 266
[18] Ibid, hal 268
[19] Ibid, hal 269
[20] Ibid, hal 270
[21] Ibid, hal 271
[22] C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal  46
[23] Ibid, hal  48
[24] Ibid, hal 48
[25] Ibid, hal 51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar