BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengenai ilmu hukum ada seberapa dasar-dasar yang
harus di pelajari, azas-azas mengenai ilmu hukum merupakan sebuah dasar, sebuah
landasan, sebuah pijakan untuk mempelajari lebih dalam mengenai hukum, disamping
itu azas merupakan prinsip awal dalam mempelajari pengertian hukum.
Dimana ada masyarakat pasti ada yang namanya
hukum, maka dari itu hukum memerlukan dua aspek peran, yaitu subyektif dan
obyektif, subyetif dari hukum adalah manusia sedangkan obyek dari hukum itu
berupa perintah dan larangan
Gambaran mengenai isi hukum itu ada beberapa hal
yang harus diketahui yaitu perbuatan hukum, perbuatan yang bukan perbuatan
hukum, keadaan yang nyata, perkembangan fisik kehidupan manusia dan
kejadian-kejadian lain.
Sumber hukum merupakan asal terbentuknya suatu
hukum yang dimana terbentuk undang undang, hukum adat, yurisprudensi, traktat,
doktrin. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenalnya
hukum secara historis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Azas-azas Hukum ?
2. Apa poin penting dari subyek, obyek dan
peristiwa hukum ?
3. Bagaiman isi hukum dan hubungan hukum ?
4. Apa saja sumber hukum yang terdapat di
sebuah hukum ?
C. Tujuan
1. Mengetahui azas-azas hukum
2. Mengetahui poin penting apa itu subyek
hukum, obyek hukum, dan peristiwa hukum
3. Mengetahu isi hukum dan hubungan hukum
4. Mengetahui sumber hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Azas-azas Hukum
Azas-azas hukum ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar
atau fundamen hukum. Azas-azas itu dapat disebut juga pengertian-pengertian dan
nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Azas-azas itu
merupakan titik tolak juga bagi pembentukan undang-undang dan interpretasi
undang-undang tersebut (Azas hukum berbeda dengan asal atau sumber hukum).
Sejak zaman dahulukala orang-orang sudah berkeyakinan bahwa
manusia tidak dapat membuat undang-undang dengan sewenang-wenang saja. Dengan
kata lain: orang orang yakin adanya prinsip-prinsip tertentu, yang lebih tinggi
dari pada hukum yang ditentukan manusia. Perlu dibedakan antara azas-azas hukum
obyektif dan subyektif. Azas-azas hukum obyektif yaitu prinsip-prinsip yang
menjadi dasar bagi pembentukan peraturan-peraturan hukum; azas-azas hukum
subyektif yaitu prinsip-prinsip yang menyatakan kedudukan subjek berhubungan
dengan hukum.[1]
Hukum Objektif ialah segala prinsip yang menjadi dasar dalam
membentuk suatu peraturan hukum. sedangkan hukum subjektif ialah segala prinsip
yang menggambarkan bahwa kedudukan subjek atau tokoh atau pelaku yang ada
hubungannya dengan segala aspek hukum.
Azas-azas hukum ada tiga
macam:
1.
Azas-azas hukum objektif yang bersifat moral.
Prinsip-prinsip itu telah ada pada para pemikir Zaman Klasik dan Abad
Pertengahan.
2.
Azas-azas hukum objektif yang bersifat rasional
yaitu prinsip-prinsip yang termasuk pengertian hukum dan aturan hidup bersama
yang rasional. Prinsip-prinsip ini juga telah diteriama sejak dahul, akan
tetapi baru diungkapkan secara nyata sejak mulainya zaman modern, yakni sejak
timbulnya negara-negara nasional dan hukum yang dibuat oleh kaum yuris secara
profesional.
3.
Azas-azas hukum subjektif yang bersifat moral
maupun rasional, yakni hak-hak yang ada pada manusia yang menjadi titik tolak
pembentukan hukum. Perkembangan hukum paling nampak pada bidang ini.
Perbedaan antara
azas-azas rasional dan azas-azas moral terletak dalam hal ini, bahwa azas-azas
hukum rasional umumnya dianggap sebagai bertalian dengan suatu aturan hidup
bersama yang masuk akal, dan karenanya diterima sebagai titik tolak bagi
pembentukan suatu tata hukum yang baik. Sedangkan azas-azas hukum moral
lebih-lebih dipandang sebagai unsur idiil. Yang belum tentu dapat diwujudkan
dalam tata hukum yang direncanakan.[2]
1.
Azas-azas rasional hukum
Di antara
azas-azas hukum rasional disebut baik azas-azas bagi hukum objektif
(undang-undang) maupun bagi hukum subjektif (hak), antara lain:
a.
Hak manusia sebagai pribadi
b.
Kepentingan masyarakat; prinsip ini harus
diseimbangkan dengan prinsip hak manusia sebagai pribadi
c.
Kesamaan hak didepan pengadilan
d.
Perlindungan terhadap yang kurang mampu
e.
Tidak ada ganti rugi tanpa kesalahan.
Kiranya dapat
dibenarkan bahwa terbentuknya undang-undang mengandaikan penerimaan
prinsip-prinsip rasional tertentu. Akan tetapi prinsip-prinsip yang dikemukakan
agak abstrak. Bila prinsip-prinsip tersebut diterapkan pada suatu situasi hidup
yang kongkret, belum tentu orang-orang sampai pada suatu persetujuan bersama
tengtang peraturan yang harus ditetapkan.
2.
Azas-azas moral hukum
Azas moral hukum yang
paling umum berbunyi: lakukanlah yang baik hindarkanlah yang jahat. Lagi yang
berikut: hiduplah secara terhormat, jangan merugikan orang, berikanlah kepada
tiap-tiap orang menurut haknya. Azas-azas tersebut disusul perintah-perintah
moral yang lebih terperinci, seperti jangan membunuh, jangan berdusta, dan
sebagainya. Sejak zaman Romawi prinsip-prinsip moral ini dipandang sebagai
hukum kodrat, entah hukum itu dianggap berkaitan dengan kehendak Tuhan entah
tidak.[3]
Mengenai
azas-azas hukum dan agama bahwa hukumm harus berpedaoman pada prinsip-prinsip moral tidak hanya
diterima orang, oleh sebab itu sesuai dengan keyakinan hati nuraninya, tetapi
juga sebab itu diperintah oleh agama. Bahkan dalam ajaran agama-agama sendiri
terdapat norma-norma tentang cara orang-orang harus mengatur hidup bersama
mereka, entah itu norma-norma moral, entah juga norma-norma yang bercorak
yuridis.
Agama
memberikan inspirasi bagi suatu kehidupan politik dan yuridis yang baik,
khususnya dengan menunjang keadilan dalam hidup bersama. Karenanya dapat
dikatakan juga bahwa ajaran moral agama berfungsi sebagai azas bagi suatu
pengaturan hidup bersama yang baik.[4]
Tetapi
sekaligus menjadi jelas juga bahwa bukan seluruh ajaran moral agama dapat
menjadi azas hukum. Norma-norma kesusilaan tertentu, yang dijunjung tinggi oleh
orang beragama dan dipandang sebagai bagian suatu kehidupan yang ideal, belum
tentu dapat dijadikan norma hukum. Asalnya bukan pertama-tama, bahwa terdapat
perbedaan pandangan dalam agama-agama tentang berlakunya norma-norma kesusilaan
tertentu, akan tetapi kenyataan bahwa norma-norma moral terlalu tinggi untuk
dapat ditaati oleh sembarang orang. Dalam membentuk suatu aturan hukum harus
diperhitungkan kondisi manusia di dunia ini (condition humaine) manusia
adalah suatu makhluk yang lemah dan berdosa. Supaya cocok dengan realitas hidup suatu tata hukum harus lebih longgar
dari pada moral agama (seperti nyata a.l. dalam peraturan mengenai pelacuran,
yang di tolak oleh moral, tetapi diterima dalam tata hukum). Untuk dapat
menentukan apa yang cocok dengan realitas hidup, sehingga dapat di bentuk
sebagai hukum, harus digunakan kriteria rasional. Untung rugi tiap tiap
peraturan harus di pertimbangkan.
B. Subyek, Obyek dan Peristwa Hukum
1. Subyek Hukum
Subyek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum
berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atausiapa yang mempunyai hak
dan cakap untuk bertindak dalam hukum.[5]
Subyek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang
menurut hukum berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak (rehtsbevoegdheid).
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang menurut
hukum mempunyai hak dan kewajiban
Pada dasarnya yang dapat menjadi subyek hukum
adalah manusia/orang atau person.
Hukum subyek umumnya dianggap sebagai akibat hukum
obyektif. Yang dimaksud dengan hukum dalam arti subyektif adalah “ketentuan
tentang kewenangan yang diberikan oleh norma-norma atau peraturan-peraturan
hidup kepada orang-orang tertentu.
Aturan aturan hukum yang menentukan (1) apa yang
dimaksudkan dengan hak milik, (2) bagaimana memperoleh hak milik itu, (3)
bagaimana terjadinya kehilangan hak milik itu, kesemua ini adalah bagian dari
hukum obyektif. Akan tetapi apabila kita membicarakan tetntang hak milik
seseorang (A misalnya) maka ini berarti kita sedang membicarakan hukum
subyektif.
Menurut APELDOORN dalam bukunya “, inlaiding tot de studie van het Nederlandse
recht”, hukum subyektif adalah peraturan hukum yang dihubungkan pada
seseorang (subyek) dan demikian memberi hak dan kewajiban kepada orang itu.[6]
2. Obyek hukum
Hukum dalam
arti obyektif adalah “keseluruhan aturan mengenai perilaku orang orang yang
masih hidup didalam ikatan kemasyarakatan, yang harus di patuhi dengan
sebaik-baiknya, aturan-aturan mana yang bertujuan untuk mengatur serta
melindungi kepentingan orang-orang itu dan sesamanya didalam antar hubungan dan
antar kegiatan pergaulan sehari-hari.
Dapat pula dinyatakan bahwa tanpa adanya kehidupan
bersama hukum itu tidak akan ada dan tanpa hukum tidak dapat dibayangkan suatu
kehidupan bersama, pepatah latin malah menyatakan “Ubi Societes, ib ius”
atau dengan lain perkataan yang lebih tegas “masyarakat dan hukum itu tidak
mungkin di pisah-pisahkan”.
Tujuan hukum membawa manusia kearah suasana yang
serba berkeadilan, berketenangan didalam interrelasi orang orang, badan-badan
hukum dan sesamanya. Hukum dalam arti obyektif berusaha menyelaraskan
kepentingan individu dan kepentingan masyarakat sebaik mungkin, dengan hukum
dapat diusahakan tercapainya suatu keseimbangan harmonis diantara pemberian ke
beberapa kepada individu dan perlindungan masyarakat terhadap kebebasan
individu tersebut. Disatu pihak kepentingan individu terpenuhi dengan
perlindungan masyarakat, misalnya:
a.
Setiap
orang akan merasa aman dalam melakukan lalu lintas dengan adanya
peraturan-peraturan lalu lintas;
b.
Setiap
orang akan merasa tenang, aman dengan adanya ABRI untuk menangkis serangan
lawan, melenyapkan terorisme;
c.
Hak
milik seseoarang akan aman dari gangguan oarang-orang yang akan memperkosanya,
dan lain sebagainya.
Dipihak
lain kepentingan-kepentingan individu merongrong kepentingan-kepentingan masyarakat,
misalnya:
a.
Kepentingan
yang mendadak sehubungan dengan terjadinya kecelakaan anggota keluarga,
cenderung orang tersebut untuk mengabaikan peraturan lalu lintas, karena
terburu-buru untuk mendatangkan seoarang dokter;
b.
Kepentingan
seorang bapak agar dapat memberi makan kepada anak-anaknya yang telah dua hari
memperoleh pangan yang sangat minim, cenderung untuk melakukan perkaitan yang
melanggar hukum karena kepentingan sangat mendesak yang tidak bisa ditangguhkan
lagi (kelaparan).
Dengan memperhatikan urain diatas dapat dikatakan
bahwa hukum obyektif adalah keseluruhan norma yang mengatur antar hubungan dan
antar kegiatan sesama manusia dalam pergaulan hidup masyarakat.[7]
3. Peristiwa hukum
1. Pengertian Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum adalah suatu rechtfeit/suatu kejadian hukum. Suatu kejadian biasa dalam
kehidupan sehari-hari yang akibatnya diatur oleh hukum. Perbuatan dari tingkah
laku subyek hukum yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan
mengikat bagi subyek hukum atau karena subyek hukum itu terikat oleh kekuatan
hukum. Peristiwa didalam masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum. Tidak
semua peristiwa mempunyai akibat hukum, jadi tidak semua peristiwa adalah
peristiwa hukum.[8]
2. Macam-macam Peristiwa Hukum
Peristwa hukum itu dapat dibagi dalam berbagai golongan :
a. Peristiwa menurut hukum dan peristiwa
melanggar hukum
Contoh:
1) kelahiran, kematian, pendudukan tanah,
pencemaran laut
2) lingkungan hidup, jual beli, sewa menyewa,
pemberian kredit, pembukuan rekening pada Bank, perjanjian negara, pembunuhan, dan lain lain.
Kejadian peristiwa itu dapat
terjadi karena perbuatan manusia dan keadaan. Suatu peristiwa dapat menimbulkan
hukum.
Contoh :
Pasal 1239 KUH Perdata, yang
berbunyi: “ tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
apabila tidak dipenuhi kewajiban itu oleh si-berutang maka ia berkewajiban
memberikan penggantian biaya, rugi dan bungi.[9]
b. Peristiwa hukum tunggal dan peristiwa
hukum majemuk
Peristiwa hukum tunggal, terdiri dari satu
peristiwa saja. Contohnya: Hibah (pemberian)
Peristiwa hukum majemuk, terdiri lebih dari satu
peristiwa. Contohnya: dalam perjanjian jual beli akan terjadi peristiwa
tawar-menawar, penyerahan barang, penerimaan barang.
c. Peristiwa hukum sepintas dan peristiwa
hukum terus-menerus
Peristiwa hukum sepintas, seperti pembatalan
perjanjian, tawar-menawar. Peristiwa ini batas waktunya tidak berkepanjangan
namun langsung di rilkan
Peristiwa hukum terus-menerus, seperti perjanjian
sewa menyewa. Uang sewa-menyewa berjalan bertahun-tahun.
C. Isi Hukum dan Hubungan Hukum
1. Isi hukum
Hukum menurut isinya terbagi menjadi dua yaitu:
a. Perbuatan subyek hukum
Peristiwa hukum yang disebabkan oleh subyek manusia atau badan hukum dapat
dibedakan dalam :
1) Perbuatan hukum
Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan yang
akibatnya di atur oleh hukum, karena akibat tersebut dapat dianggap menjadi
kehendak dari yang melakukan perbuatan itu. Perbuatan ini dapat dibagi dalam :
a) Perbuatan hukum yang sifatnya sederhana
Perbuatan hukum yang sifatnya sederhana ini
merupakan perbuatan hukum yang bersegi satu, ialah apabila hanya merupakan satu
kejadian saja ataupun apabila akbat hukumnya (rechtsgevolgen) ditimbulkan oleh kehendak seseorang saja, ialah
orang yang melakukan perbuatan itu.
Contohnya : Pembuatan surat wasiat atau testamen pasal 875 KUH Perdata.[10]
b) Perbuatan hukum yang bersifat tidak
sederhana
Perbuatan hukum ini dapat bersegi dua atau lebih,
ialah perbuatan hukum yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari dua
atau lebih subyek hukum.
Contohnya: sewa menyewa, jual beli, perjanjian kredit, perjanjian deposito,
semua perjanjian dan perikatan (overeenkomsten), seperti apa yang disebut dalam
pasal 1313 KUH Perdata.[11]
2) Perbuatan yang bukan perbuatan hukum
Yaitu setiap perbuatan hukum yang akibat hukumnya
tidak dikehendaki oleh pelakunya, meskipun akibat tersebut diatur oleh hukum.
Perbuatan yang bukan perbuatan hukum ini dibagi dalam:
a) Perbuatan yang tidak dilarang oleh hukum
seperti:
(1)
Zaakwaarneming
Yaitu tindakan memperhatikan kepentingan orang lain tanpa diminta oleh
orang yang bersangkutan untuk memperhatikan kepentingannya (pasal 1354 KUH
Perdata) contohnya: memperhatikan kepentngan A tanpa diminta atau disuruh oleh
A.
(2)
Onverschuldigde betaling
Yaitu pembayaran utang yang sebenarnya tidak ada utang (pasal 1359 KUH
Perdata). Contoh : A membayar uang pada B karena ia merasa mempunyai utang.
Tetapi sebenarnya A tidak mempunyai utang pada B.[12]
b) Perbuatan yang dilarang oleh hukum
Yang dimaksud dengan yang dilarang oleh hukum
ialah semua perbuatan yang bertentangan dan melanggar hukum. Akibat hukum yang
timbul tetap diatur oleh peraturan hukum, meskipun akibat itu tidak di
kehendaki oleh pelakunya.
Perbuatan ini dinamakan “onrechtmatigedaad”, perbuatan hukum yang tidak dibenarkan oleh
hukum contohnya: “A dan B sama-sama mengendarai mobil yang saling bertubrukan.
Akibat dari tubrukan itu sudah jelas tidak di kehendaki oleh A maupun B. Namun
demikian yang dianggap sudah diwajibkan memberi ganti rugi kepada pihak yang
dirugikan.
Penggantian ganti rugi tersebut didasarkan kepada
asas dari pasal 1365 KUH Perdata. Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa unsur-unsur perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah perbuatan, melanggar, kerugian,
kesalahan.
Apabila dalam suatu peristiwa terdapat 4 unsur
tersebut diatas, maka sipelaku telah melakukan perbuatan melanggar hukum pasal
1365 KUH Perdata.[13]
b. Peristiwa/ perbuatan yang bukan perbuatan
hukum (perbuatan lainnya)
Peristiwa hukum yang bukan karena perbuatan manusia/ karena perbuatan
lainnya dibedakan dalam 3 bagian
1) Keadaan yang nyata
a) Kepailitan
Karena keadaan pailit mengakibatkan individu atau suatu badan hukum, tidak
dapat membayar utang utangnya secara penuh. Hal ini diatur dalam pasal satu
Undang-undang Kepailitan.[14]
Bunyi pasal 1 Undang-undang Kepailitan adalah sebagai berikut:
Ayat 1: setiap berutang yang berada dalam keadaan telah berhenti membayar
utang-utangnya, harus dinyatakan berada dalam keadaan pailit dengan putusan
hakim baik atas pelaporan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
para berpiutang”
Ayat 2: pernyataan pailit itu boleh diucapkan juga berdasarkan pada
kepentingan umum atas tuntunan kejaksaan
b) Kadaluarsa
Kadaluarsa untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan
dengan lewat waktu syarat-syarat tertentu, seperti dikemukakan oleh pasal 1946
KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut : “Daluwarsa adalah suatu upaya
untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari sesuatu perikatan dengan
lewatnya suatu waktu tertentu dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang”[15]
2) Perkembangan fisik kehidupan manusia
a) Kelahiran
Kelahiran membawa kewajiban bagi orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak itu serta memberi tunjangan-tunjangan dalam
keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan
pendidikan anak tersebut.[16]
Kelahiran menimbulkan langsung hak dari anak untuk
mendapat pemeliharaan dari orang tuanyahal ini terlihat dalam pasal 298 ayat 2
KUH Perdata, yang berbunyi: “Si bapak dan si ibu, keduanya wajib memelihara dan
mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku
kekuasaan orang tua untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban
memberi tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna
membayai pemeliharaan dan pendidikan.
b) Kedewasaan
Anak-anak yang telah dewasa mempunyai kewajiban
untuk memberi ongkos kepada orang tuanya, terlebih lagi apabila orang tuanya
tidak mampu atau tidak mempunyai penghasilan. Kewjiban ini berlaku juga bagi
anak anak menantu, laki-laki maupun perempuan untuk memberi nafkah kepada
ibu-bapak mertua mereka. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 321 dan 322 KUH Perdata.[17]
Pasal 321 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut : “
tiap-tiap anak berkewajiban untuk memberi nafkah kepada kedua orang tuanya dan
para keluarga sedarahnya dalam garis keatas apabila mereka dalam keadaan
miskin”.
c) Kematian
Kematian seseorang juga merupakan suatu peristiwa
hukum menimbulkan akibat hukum. Pada saat kematian ini hak dan kewajiban lenyap
dan tmbul bersamaan artinya lenyapnya hak dan kewajiban bagi yang meninggal dan
tumbuhnya hak dan kewajiban bagi para ahli waris.
Kematian mengakibatkan anak, cucu dan para ahli
waris lainnya berhak atas harta peninggalan/harta warisan warisan dari almarhum
atau yang meninggal.
Jika timbul perselisihan sekitar soal siapakah
yang berhak memperoleh hak milik maka hakim memerintahkan agar segala harta
peninggalan si yang meninggal ditaruh terlebih dahulu dalam penyimpanan.
Dapat disimpulkan bahwa kematian menimbulkan :
melenyapkan hak bagi yang menimbulkan hak, dan menimbulkan hak bagi ahli waris.
3) Kejadian kejadian lain
Contoh : pasal 1553 KUH Perdata yang berbunyi :
“jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu
kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum”.
Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa
dapat memilih, menurut keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa;
tetapi tdak dalam satu dari kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi.
Dari pasal tersebut dapat diartikan, bahwa
misalnya ada sebuah rumah yang disewakan disambar petir sehingga habis
terbakar, akan mengakibatkan lenyapnya perjanjian sewa menyewa[18]
2. Hubungan hukum
Hubungan hukum ialah hubungan antara dua atau
lebih subyek hukum. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu
berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.
Kita semua mengetahui bahwa hukum itu mengatur
hubungan antara orang yang satu orang yang lain, antara orang dengan
masyarakat, antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Jadi salam
semua hubungan didalam masyarakat diatur oleh hukum.[19]
Barang
siapa yang mengganggu atau tidak mengindahkan hubungan ini, maka ia dapat
dipaksa oleh hukum untuk menghormatinya.
Mengenai hubungan hukum ini, Logemann berpendapat,
bahwa dalam tiap hubungan hukum terdapat pihak yang berwenang/ berhak meminta
prestasi yang disebut dengan “prestatie
subject” dan pihak yang wajib melakukan prestasi yang disebut “plicht subject”.
a.
Segi
hubungan hukum
Tiap hubungan hukum mempunyai dua segi yaitu pertama ialah kewenangan yang
disebut hak dan kewajiban adalah segi pasif daripada hubungan hukum. Hak dan
kewajiban ini kedua duanya timbul dari satu peristiwa hukum.[20]
b.
Unsur-unsur
hubungan hukum
Hubungan hukum memiliki tiga unsur sebagai berikut:
1) Adanya orang-orang yang hak/kewajiban
saling berhadapan.
2) Adanya obyek yang berlaku berdasarkan hak
dan kewajiban
3) Adanya hubungan antara pemilik hak dan
pengemban kewajiban atau adanya hubungan atas obyek yang bersangkutan.
c.
Syarat-syarat
dari pada hubungan hukum
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum itu baru
ada apabila telah dipenuhinya sebagai syarat, ada dua syarat yaitu pertama
adanya dasar hukum, ialah peraturan peraturan hukum yang mengatur hubungan
hukum itu dan yang kedua timbulnya peristiwa hukum.
d.
Macam/jenis
hubungan hukum
Hubungan hukum itu ada tiga macam:
1) Hubungan hukum yang bersegi satu
2) Hubungan huku yang bersegi dua
3) Hubungan antara “satu” subyek hukum dengan
“semua” subyek hukum lainnya.[21]
D. Sumber-Sumber Hukum
Sumber hukum
adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa
sehingga apabila aturan aturan itu dilanggar akan menmbulkan sanksi yang tegas
dan nyata bagi pelanggarnya.
Yang dimaksud
dengan segala sesuatu adalah faktor faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya
hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara
formal artinya dari mana hukum itu dapat dtemukan, dari mana asal mulanya
hukum, dimana hukum dapat dicari atau hakim menemukan hukum, sehingga dasar
putusannya dapat diketahui bahwa suatu peraturan terteuntu mempunyai kekuatan
mengikat atau berlaku dan lain sebagainya.
Sumber hukum itu
dapat kita tinjau dari segi material dan segi formal; sumber-sumber hukum
material dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut misalnya dari sudut ekonomi,
sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya, sedangkan sumber-sumber hukum
formal antara lain ialah undang-undang, kebiasaan, keputusan-keputusan hakim
(yurisprudensi), traktat, pendapat sarjana hukum (doktrin)
1.
Undang
undang
Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa
negara.[22]
2.
Kebiasaan
Kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap
dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu
diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan
sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu
dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah
suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum. [23]
3.
Keputusan
keputusan hakim
Dari ketentuan pasal 22 A.B. ini jelaslah, bahwa
seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu
perkara. Dengan demikian, apabila undang undang ataupun kebiasaan tidak memberi
peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim
haruslah membuat peraturan sendiri[24].
4.
Traktat
Apabila dua orang mengadakan kata-sepakat
(konsensus) tentang suatu hal, maka mereka itu lalu melakukan perjanjian.
Akibat perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada
isi perjanjian yang mereka adakan itu.
5.
Pendapat
sarjana hukum
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga
mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.
Dalam yurisprudensi terlihat bahwa hakim sering
berpegang pada pendapat seorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal
dalam ilmu pengetahuan hukum. Dalam penetapan apa yang akan menjadi dasar
keputusannya, hakim sering menyebut pendapat seseorang sarjana hukum mengenai
soal yang harus diselesaikan; apalagi jika sarjana hukum itu menentukan
bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut.[25]
BAB III
KESIMPULAN
Pengertian dari
azas-azas hukum ialah prinsip prinsip yang dianggap dasar di sebuah hukum, atau
peraturan-peraturan yang menjadi pondasi bagi peraturan peraturan yang
selanjutnya, azas hukum yang paling dasar ialah konstitusi, dimana hukum
diatasnya tidak bisa dikalahkan oleh hukum-hukum di bawahnya.
Manusia sebagai
peran utama dalam sebuah hukum, dimana ada masyarakat maka pasti ada hukum,
maka dari itu dimana ada subyek maka disitu ada obyek, obyek dari hukum ialah
peraturan perintah dan larangan. Diantara keduanya menimbulkan sebuah
peristiwa, yang dimana setiap peristiwa tidak selamanya berkaitan dengan hukum
Undang-undang
merupakan sumber hukum yang pertama karena undang undang di bentuk melalui
campur tangan lembaga negara berkat dorongan dari masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
G. Kartasapoetra Rien.
1988. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:
Penerbit Bina Aksara
Anggota IKAPI
G. Kartasapoetra Rien. 1990. Pengantar
Ilmu Hukum Lengkap. Jakarta; Bina Askara,
S. T. Kansil. C. 1989. Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
Soeroso R. 2008. Pengantar
Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
[1]
Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Jakarta: Bina Askara,
1990), hal 81
[2]
Ibid, hal 87
[3]
Ibid, hal 88
[4]
Ibid, hal 90
[6]
Rien G. Kartasapoetra, Pengantar
Ilmu Hukum, (Jakarta:
Penerbit Bina Aksara Anggota IKAPI, 1988), hal 23
[7]
Ibid, hal 22
[10]
Ibid, hal 254
[11]
Ibid, hal 254
[22]
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989),
hal 46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar