BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Thaharah
Thaharah, secara bahasa, berarti bersih dan suci. Sedangkan
menurut istilah thaharah adalah menghilangkan sesuatu yang ada di badan yang
dapat menghalangi (sahnya) shalat dan lainnya.[1]
Menurut Ahli Fiqih thaharah ialah membersihkan hadas atau
menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja.
Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini
terlarang untuk melakukan shalat dan untuk menyucikannya mereka wajib berwudhu’,
mandi dan tayammum.[2]
Atau bisa juga dikatakan bahwa at-Thaharah adalah sifat
hukmiyyah yang diperbolehkan karena sesuatu yang dicegah oleh hadats atau yang
mengandung hukum yang menjijikkan.
Media atau alat untuk bersuci banyak sekali. Salah satunya
adalah air, alat untuk menyamak, debu, menggosok, menggaruk, an lain lain.[3]
Semua media bersuci ini merupakan alat sahnya untuk bersuci, akan tetapi yang
paling utama atau didahulukan ialah air. Apabila air tidak ada di sekitar
daerah tersebut, maka boleh menggunakan alat-alat yang lain selagi air tidak
diketaui keberadaannya.
Dalam al-Qur’an Allah sangat memuji orang orang yang selalu
menjaga kesuciannya seperti yang terapat dalam surat al-Baqarah ayat 222
... اِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّا بِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِيْن.
Artinya : Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang membersihkan diri.[4]
Dan terdapat juga di surat al-Taubah ayat 108
...
وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ.
Artinya: dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.[5]
Maka dari itu sebagai seorang muslim sejati dapat menjadi teladan dan idola
dalam arti yang positif ditengah manusia dalam hal kesucian dan kebersihan.
Baik kesucian zahir maupun batin.
Pengertian thaharah menurut 4 madzhab :
1.
Hanafiyah : thaharah adalah mereka berpendapat
bahwa pengertian thaharah dalam syara’ adalah suci dari hadats dan khubts
(kotoran).
2.
Malikiyah : thaharah adalah sifat hukmiyah yang
menyebabkan orang yang disifatinya boleh melakukan ibadah dengan pakaian yang
di pakainya.
3.
Syafi’iyah : pengertian pertama bahwa thaharah
berarti melakukan sesuatu yang membolehkan (seseorang) melaksanakan ibadah dan
yang kedua bahwa thaharah berarti menghilangkan hadats dan najis, atau
melakukan sesuatu yang semakna dengannya.
4.
Hambaliyah : pengertian thaharah secara syara’
adalah hilangnya hadats dan yang semakna dengannya, dan hilangnya najas (najis)
atau hilangnya hukum semua itu.[6]
B.
Macam-macam Thaharah
Thaharah dalam islam dibagi menjadi dua; Hissiyah dan Ma’nawiyah.
Hissiyah adalah membersihkan anggota badan, sedangkan Ma’nawiyah
adalah membersihkan hati dari noda-noda dosa. Thaharah Hissiyah termasuk
masalah fiqih yaitu secara zhahir yang bertujuan agar boleh melakukan shalat.
Thaharah ini dibagi menjadi dua: bersuci dari hadats dan bersuci dari khabats
(kotoran). Bersuci dari hadats terbagi menjadi tiga bentuk[7]
:
1.
Hadats besar, yaitu dengan mandi.
Hadats besar contohnya: seoarang
laki-laki setelah mimpi basah wajib hukumnya mandi untuk menghilangkan hadats.
2.
Hadats kecil, yaitu dengan wudhu’.
Hadats kecil contohnya: sesuatu yang
keluar dari lubang depan maupun belakang maka wajib hukumnya untuk berwudhu’.
3.
Pengganti keduanya apabila ada udzur yaitu
dengan tayammum.
Adapun bersuci dari khabats juga terdiri dari tiga cara:
1.
Mandi
Contohnya: Contoh lain; seorang
perempuan setelah mengalami menstruasi wajib hukumnya mandi.
2.
Mengusap
Contohnya: ada sebagian tempat yang
terkena kotoran maka cara mensucikannya ialah dengan membuang terlebih dahulu
kotorannya kemudian tempatnya cukup diusap dengan air.
3.
Memercikkan
Contohnya: kencing anak laki-laki
yang belum memakan-makanan lain sebagai makanan pokok selain ASI (Air Susu Ibu)
cukup dipercikkan dengan air.
C.
Tata Cara Thaharah
1.
Mandi
Mandi besar
adalah menyamaratakan badan dengan air, seperti inilah yang disyariatkan
berdasarkan firman Allah SWT: “Dan jika kamu junub, maka mandilah”[8]
Adapun rukun-rukun mandi wajib
diantaranya:
a.
Niat
Niat merupakan
hal yang terpenting dalam beribadah. Niat itu tidak hanya sebatas perbuatan
hati semata. Melainkan bersungguh sungguh untuk menghadap kepada yang maha
kuasa.
b.
Membasuh seluruh anggota tubuh
Sebagaimana Allah
berfirman: “Dan jika kamu junub maka bersucilah”.
Dan hakikat mandi
wajib itu adalah membersihkan seluruh bagian tubuh.
2.
Wudhu’
Wudhu dapat
didefinisikan sebagai: bersuci dengan menggunakan air yang meliputi wajah,
kedua tangan, kepala, dan kedua kaki. Adapun pembahasan lebih lengkapnya
sebagai berikut.[9]
Wudhu mempunyai
rukun-rukun dan fardlu-fardlu yang tersusun dengan tertib. Jika salah satu
fardlu dikerjakan mendahului fardlu yang lain maka itu tidak dibenarkan menurut
syara’. Adapun fardlu-fardlu tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Niat
Hakekat niat adalah
berkehendak untuk melaksanakan suatu pekerjaan, dengan mengharap ridla Allah
dan untuk menjalankan aturan-Nya. Niat merupakan pekerjaan hati, dan lisan
tidak termasuk di dalamnya, dan mengucapkannya tidak disyariatkan.[10]
b.
Membasuh muka satu kali
Yaitu mengalirkan
air ke wajah, karena yang dimaksud membasuh disini ialah mengalirkan. Adapun
batasan wajah ialah mulai dari ujung atas kening sampai kebawah dagu, dan dari pangkal telinga sebelah kanan sampai
pangkal telinga sebelah kiri.
c.
Membasuh kedua tangan
Membasuh kedua
tangan sampai dengan kedua siku. Dan kedua siku merupakan anggota tubuh yang
wajib di basuh, hal ini berdasarkan kepada Rasulallah SAW yang menjelaskan
tentang hal itu.
d.
Mengusap kepala
Mengusap disini
ialah membasahi dengan diusap, maka tidak dapat dikatakan mengusap kecuali
dengan menyentuh anggota tubuh yang mengusap kepada yang diusap dan
menggerakkannya. Maka dalam hal ini meletakkan tangan atau jari diatas kepala
saja tidak dikatakan sebagai mengusap.[11]
e.
Membasuh kedua kaki
Membasuh kedua
kaki beserta kedua mata kaki. Keterangan mengenai hal ini telah jelas dan
hadits-hadits mutawattir.
f.
Tertib
Karena Allah SWT
telah menyebutkan fardlu wudhu dalam ayatnya secara tertib. Allah memisahkan
kedua kaki dari kedua tangan yang keduanya di fardlukan untuk membasuhnya
dengan kepala, yang difardlukan untuk diusap. Dan orang Arab tidak memisahkan
sesuatu yang setara dengan sesuatu yang setara lainnya kecuali memiliki faedah,
dalam hal ini ialah tertib.[12]
3.
Tayammum
Makna tayammum
secara harfiyah yaitu niat, tujuan, atau maksud. Adapun secara istilah tayammum
berarti tujuan menggunakan debu dengan mengusap muka dan dua tangan dengan niat
untuk melaksanakan shalat dan yang lainnya.
Dalam tata cara
tayammum yang pertama dilakukan adalah niat, sebagaimana yang telah dijelaskan
tentangnya tentang bab wudhu, kemudian mengucap basmalah dan memukulkan kedua
tangan ke debu yang suci itu, lalu mengusapkannya ke wajah dan kedua tangan
sampai pada sikut.
D.
Sarana Thaharah (Macam-Macam Air)
Air merupakan salah satu sarana untuk mensucikan atau
membersihkan dari hadats. Air terbagi menjadi beberapa macam. Yakni air mutlak,
air musta’mal, air yang berubah karena benda suci, dan air yang bertemu dengan
najis.[13]
1.
Air Mutlaq
Pada dasarnya air adalah suci, yakni
suci dzatnya dan dapat mensucikan. Air suci ini diantaranya adalah:
a.
Air hujan, salju, dan es
Merujuk pada
firman Allah SWT.
وَأَنْزَلْنَامِنَ السَّمَاءِ مَاءً
طَهُورًا .
Dan kami turunkan dari
langit air yang amat bersih. (QS. Al-Furqan (25): 28)
Disurah yang lain Allah SWT berfirman.
وَيُنَزِّلُ
عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ.
Dan Allah SWT menurunkan
kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu. (Al-Anfal
(8): 11)[14]
Berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata; “jika Rasulallah bertakbir ketika
shalat beliau berhenti sejenak sebelum bacaan dimulai, aku berkata “Ya
Rasulallah demi ayah, engkau dan ibuku, aku melihat engkau diam diantara takbir
dan bacaan lain, apa yang engkau baca?” Rasul menjawab
“Aku membaca doa (yang
artinya) Ya Allah jauhkanlah antara aku dan dosaku, seperti halnya Engkau
memisahkan Timur dan Barat, Ya Allah bersihkan aku dari dosa-dosaku, seperti
pakaian putih yang dibersihkan dari noda, Ya Allah bersihkanlah aku dari dosa
melalui air salju dan es”. (HR. al-Jamaah kecuali At-Tirmidzi).[15]
b. Air Laut
Merujuk pada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hirairah ra, ia berkata: Seorang laki-laki bertanya
kepada Rasulallah SAW, ia berkata, “wahai Rasulallah kami sedang naik kapal di
laut, sementara kami membawa sedikit perbekalan dari air, dan jika kami
berwudhu’ dengannya kamu akan kehausan. Bolehkah kami berwudu’ dengan air
laut?” Rasulallah SAW menjawab
هُوَالطَّهُورُ
مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Air laut itu suci dan
mensucikan, bangkainya pun halal.[16]
c.
Air Zamzam
Berdasarkan hadits
Ali ra, “Bahwa Rasulallah SAW mendatangkan seember air zamzam kemudian beliau
meminumnya lalu berwudhu”. (HR. Ahmad)
d.
Air yang berubah ubah
Air yang berubah ubah
karena terlalu lama mengendap atau dikarenakan lokasinya atau karena tercampur
sesuatu yang umumnya tidak dapat dipisahkan darinya, seperti enceng gondok dan
daun pohon. Menurut kesepakatan ulama’ air tersebut tetap masuk dalam kategori
air mutlak.
2.
Air Musta’mal
Air Musta’mal
adalah air yang menetes atau terjatuh dari anggota tubuh orang yang berwudhu
atau mandi.
Status hukum air
tersebut suci seperti halnya air mutlaq, dengan demikian tetap sah apabila
seseorang bersuci dengannya tanpa ada unsur makruh sama sekali. Hal ini
mengingat asal-usulnya yang suci dan mensucikan. Lagi pula tidak ada dalil yang
mengeluarkan air musta’mal dari status kesuciannya.
Status kesucian
air musta’mal ditetapkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah, ia berkata: “Rasulallah SAW datang menjengukku ketika aku sakit dan
tidak sadarkan diri, kemudian beliau wudhu lalu meneteskan bekas air wudhunya
kepadaku, kemudian aku sadar.”
Diriwayatkan juga
dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi SAW berpapasan dengannya disebuah jalan di
kota Madinah, dan kala itu ia sedang dalam keadaan junub, maka iapun minggir,
pergi, dan mandi kemudian datang (menghadap Nabi SAW). Rasulallah SAW pun
menanyainya, “Kemana saja engkau, hai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab,
“Saya tadi junub, jadi saya tidak ingin duduk bersama Anda, sementara saya
dalam keadaan tidak suci.” Rasulallah SAW menukas, “Maha Suci Allah,
sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.
Aspek
argumentatif yang dapat diambil dari Hadits diatas adalah bahawasanya orang
mukmin itu tidak najis, sehingga tidak ada alasan baginya untuk menjadikan air
kehilangan kesuciannya hanya lantaran ia memeganginya (menggunakannya), sebab
tujuannya adalah bertemunya sesuatu yang suci pula, dan pertemuan itu tidak
mempunyai efek atau dampak sama sekali. Pendapat ini dilansir dari Imam Malik
dan Imam Asy-Syafi’iy. Adapun dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Imam
Malik memakruhkan bersuci dengan air musta’mal jika memang ada air selainnya.
Begitu juga tidak boleh tayammum jika ada air musta’mal. Apabila tidak
ditemukan air selainnya maupun air mutlaq yang bisa dimanfaatkan maka tidak
makruh hukumnya bersuci dengan air musta’mal.
Adapun pendapat
yang tepat (benar) menurut penulis adalah bahwasanya air musta’mal tetap suci
lagi mensucikan. Hal ini sejalan dengan asal-usul air tersebut dan adanya dalil
yang menunjukkan bahwa air itu suci dan mensucikan. Ini adalah pendapat
segolongan ulama’ salaf dan khilaf.[17]
3.
Air yang berubah karena benda suci
Air yang berubah
karena benda suci adalah air yang tercampur benda yang suci, misalnya tercampur
sabun, minyak za’farun, dan air bunga mawar.
Status air
tersebut tetap suci lagi mensucikan (thahur), selama masih terjaga
kemutlakannya. Namun, jikalau air tersebut sudah dikalahkan oleh benda suci yang
mencampurinya, sehingga mengakibatkan kemutlakan air itu tidak mampu
mencukupinya. Dalam kondisi demikian, status air tersebut menurut pendapat tiga
Imam pendiri madzhab (Imam Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad) tetap suci namun tidak
lagi mensucikan.[18]
Dari Ummi
‘Athiyyah ia berkata: Rasul menghampiri kami ketika putrinya (Zainab) wafat. Ia
berkata “mandikanlah ia tiga kali atau lima kali atau lebih banyak-jika kalian
menemukannya-dengan air dan sidrin (jenis tanaman berduri) dan akhirilah dengan
menggunakan kapur barus atau sesuatu sejenisnya.
Jika kalian telah
selesai, maka berikanlah izin kepadaku, ketika kami telah selesai kami pun
memberikan izin kepada Nabi. Lalu rasul memberikan kain penutup badannya
(sejenis sarung) kepada kami, lalu beliau berkata (pakaikanlah kepadanya dengan
itu). Yang dimaksud adalah kain sarung” (HR. Ahli Hadits)
Mayat tidak boleh
dimandikan, kecuali dengan air yang dapat digunakan untuk bersuci oleh yang
masih hidup. Menurut Imam Ahmad dan An-Nasa’i dan Ibn Khuzaimah dari hadits
Ummi Hani. Sesungguhnya Nabi SAW dan Siti Maimunah bermandi, dari satu wadah
yang sama, yaitu mangkuk besar bekas adonan. (dalam hadits-hadits lain
ditemukan kata “bercampur”, kecuali bahwa hal demikian itu tidak sampai
menghilangkan kemutlakan air)
4.
Air yang terkena najis
Air yang demikian
mempunyai dua kondisi, yaitu sebagai berikut:
Pertama, benda
najis itu mengubah rasa, warna, dan bau air. Dalam kondisi ini air tersebut
sudah tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci menurut ijma’ ulama.
Kedua, air tetap
dalam kemutlakannya, dalam artian air itu tidak berubah sama sekali dari segi
rasa, warna, dan baunya. Dalam kondisi demikian, statusnya tetap suci lagi
mensucikan, baik air itu sedikit maupun banyak.
Dalil yang
dijadikan rujukan adalah hadits narasi Abu Hurairah ra, ia berkata: “Ada
seorang Arab Badui yang berdiri, kemudian kencing di dalam masjid. Maka
orang-orang langsung berdiri menghampirinya hendak memukulinya. Nabi SAW dengan
segera mencegah seraya bersabda, yang artinya:
Biarkan dia,
lalu siramkan diatas air kencingnya setimba besar air atau setimba air.
Sesungguhnya kalian diutus untuk kemudahan dan tidak diutus untuk kesukaran.
Aspek
argumentatif hadits ini, seandainya najis itu memberikan bekas pada benda yang
dikenainya, maka menjadi tidak salah atau tidak bolehlah membersihkan tempat
itu hanya dengan air tersebut.
Hadits lain yang
dijadikan rujukan adalah hadits narasi Abu Sa’id Al-Khudri ra, ia berkata:
Rasulallah SAW pernah ditanya, “Wahai Rasulallah, apakah kita boleh berwudhu’
dari sumur Budha’ah, sedangkan sumur itu telah terkena kotoran haid, daging
anjing, dan sesuatu yang berbau busuk?” Beliau menjawab, “Air itu suci dan
tidak ternajiskan oleh apapun.”
Pendapat ini
dianut oleh Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Imam Hasan Al-Basri, Ibnu Al-Musayyab,
Ikrimah, Ibnu Abu Laila, Imam Ats-Tsauri, Abu Dawud Azh-Zhaihiri, Imam
An-Nakha’i, Imam Malik, dan yang lain-lain, memilih pendapat ini. Imam
Al-Ghazali mengatakan, saya berharap seandainya mazhab Imam Asy-Syafi’iy dalam
masalah air seperti madzhab Imam Maliki.[19]
[1] Muhammad
Shalih. Intisari Fiqih Islami. (Surabaya, Pustaka La Raiba Bima Amanta, 2007) hal 24
[2]
http://riwayat5imammazahb.wordpress.com/riwayat-5-imam-mazahb/bab1-thaharah/
[3] Abdul Aziz
Muhammad Azzam . Fiqih Ibadah. (Jakarta, AMZAH, 2009) hal 3
[4]Al-Qur’an
Surah al-Baqarah: 222
[5]
Al-Qur’an Surah al-Taubah: 108
[6]
Abdurrahman Al-Jirazi. Fiqh Empat Madzhab. (Jakarta, Darul Ulum, 1996) hal 7
[7] Muhammad
Shalih. Intisari Fiqih Islami. (Surabaya, Pustaka La Raiba Bima Amanta,
2007) hal 24
[8] Yusuf
Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007) hal 59
[9] Yusuf
Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007) hal 35
[10] Yusuf
Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007) hal 37
[11] Yusuf
Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007) hal 37
[12] Yusuf
Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007) hal 38
[13] Abdul
Aziz Muhammad Azzam . Fiqih Ibadah. (Jakarta, AMZAH, 2009) hal 3
[14] Ibid,
hal 4
[15] Yusuf
Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007) hal 9
[16] Abdul
Aziz Muhammad Azzam . Fiqih Ibadah. (Jakarta, AMZAH, 2009) hal 5
[17] Abdul
Aziz Muhammad Azzam . Fiqih Ibadah. (Jakarta, AMZAH, 2009) hal 6
[19] Abdul
Aziz Muhammad Azzam . Fiqih Ibadah. (Jakarta, AMZAH, 2009) hal 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar