Selasa, 19 April 2016

HUKUM PERIBADATAN (THAHARAH)

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Thaharah
Thaharah, secara bahasa, berarti bersih dan suci. Sedangkan menurut istilah thaharah adalah menghilangkan sesuatu yang ada di badan yang dapat menghalangi (sahnya) shalat dan lainnya.[1]
Menurut Ahli Fiqih thaharah ialah membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk melakukan shalat dan untuk menyucikannya mereka wajib berwudhu’, mandi dan tayammum.[2]
Atau bisa juga dikatakan bahwa at-Thaharah adalah sifat hukmiyyah yang diperbolehkan karena sesuatu yang dicegah oleh hadats atau yang mengandung hukum yang menjijikkan.
Media atau alat untuk bersuci banyak sekali. Salah satunya adalah air, alat untuk menyamak, debu, menggosok, menggaruk, an lain lain.[3] Semua media bersuci ini merupakan alat sahnya untuk bersuci, akan tetapi yang paling utama atau didahulukan ialah air. Apabila air tidak ada di sekitar daerah tersebut, maka boleh menggunakan alat-alat yang lain selagi air tidak diketaui keberadaannya.
Dalam al-Qur’an Allah sangat memuji orang orang yang selalu menjaga kesuciannya seperti yang terapat dalam surat al-Baqarah ayat 222
... اِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّا بِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْن.
            Artinya : Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang membersihkan diri.[4] Dan terdapat juga di surat al-Taubah ayat 108
... وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِيْنَ.
Artinya: dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.[5] Maka dari itu sebagai seorang muslim sejati dapat menjadi teladan dan idola dalam arti yang positif ditengah manusia dalam hal kesucian dan kebersihan. Baik kesucian zahir maupun batin.
Pengertian thaharah menurut 4 madzhab :
1.    Hanafiyah : thaharah adalah mereka berpendapat bahwa pengertian thaharah dalam syara’ adalah suci dari hadats dan khubts (kotoran).
2.    Malikiyah : thaharah adalah sifat hukmiyah yang menyebabkan orang yang disifatinya boleh melakukan ibadah dengan pakaian yang di pakainya.
3.    Syafi’iyah : pengertian pertama bahwa thaharah berarti melakukan sesuatu yang membolehkan (seseorang) melaksanakan ibadah dan yang kedua bahwa thaharah berarti menghilangkan hadats dan najis, atau melakukan sesuatu yang semakna dengannya.
4.    Hambaliyah : pengertian thaharah secara syara’ adalah hilangnya hadats dan yang semakna dengannya, dan hilangnya najas (najis) atau hilangnya hukum semua itu.[6]




B.     Macam-macam Thaharah
Thaharah dalam islam dibagi menjadi dua; Hissiyah dan Ma’nawiyah. Hissiyah adalah membersihkan anggota badan, sedangkan Ma’nawiyah adalah membersihkan hati dari noda-noda dosa. Thaharah Hissiyah termasuk masalah fiqih yaitu secara zhahir yang bertujuan agar boleh melakukan shalat. Thaharah ini dibagi menjadi dua: bersuci dari hadats dan bersuci dari khabats (kotoran). Bersuci dari hadats terbagi menjadi tiga bentuk[7] :
1.    Hadats besar, yaitu dengan mandi.
Hadats besar contohnya: seoarang laki-laki setelah mimpi basah wajib hukumnya mandi untuk menghilangkan hadats.
2.    Hadats kecil, yaitu dengan wudhu’.
Hadats kecil contohnya: sesuatu yang keluar dari lubang depan maupun belakang maka wajib hukumnya untuk berwudhu’.
3.    Pengganti keduanya apabila ada udzur yaitu dengan tayammum.
Adapun bersuci dari khabats juga terdiri dari tiga cara:
1.    Mandi
Contohnya: Contoh lain; seorang perempuan setelah mengalami menstruasi wajib hukumnya mandi.
2.    Mengusap
Contohnya: ada sebagian tempat yang terkena kotoran maka cara mensucikannya ialah dengan membuang terlebih dahulu kotorannya kemudian tempatnya cukup diusap dengan air.
3.    Memercikkan
Contohnya: kencing anak laki-laki yang belum memakan-makanan lain sebagai makanan pokok selain ASI (Air Susu Ibu) cukup dipercikkan dengan air.

C.     Tata Cara Thaharah
1.   Mandi
Mandi besar adalah menyamaratakan badan dengan air, seperti inilah yang disyariatkan berdasarkan firman Allah SWT: “Dan jika kamu junub, maka mandilah”[8]
Adapun rukun-rukun mandi wajib diantaranya:
a.    Niat
Niat merupakan hal yang terpenting dalam beribadah. Niat itu tidak hanya sebatas perbuatan hati semata. Melainkan bersungguh sungguh untuk menghadap kepada yang maha kuasa.
b.    Membasuh seluruh anggota tubuh
Sebagaimana Allah berfirman: “Dan jika kamu junub maka bersucilah”.
Dan hakikat mandi wajib itu adalah membersihkan seluruh bagian tubuh.
2.   Wudhu’
Wudhu dapat didefinisikan sebagai: bersuci dengan menggunakan air yang meliputi wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki. Adapun pembahasan lebih lengkapnya sebagai berikut.[9]
Wudhu mempunyai rukun-rukun dan fardlu-fardlu yang tersusun dengan tertib. Jika salah satu fardlu dikerjakan mendahului fardlu yang lain maka itu tidak dibenarkan menurut syara’. Adapun fardlu-fardlu tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Niat
Hakekat niat adalah berkehendak untuk melaksanakan suatu pekerjaan, dengan mengharap ridla Allah dan untuk menjalankan aturan-Nya. Niat merupakan pekerjaan hati, dan lisan tidak termasuk di dalamnya, dan mengucapkannya tidak disyariatkan.[10]

b.    Membasuh muka satu kali
Yaitu mengalirkan air ke wajah, karena yang dimaksud membasuh disini ialah mengalirkan. Adapun batasan wajah ialah mulai dari ujung atas kening sampai kebawah dagu,  dan dari pangkal telinga sebelah kanan sampai pangkal telinga sebelah kiri.
c.    Membasuh kedua tangan
Membasuh kedua tangan sampai dengan kedua siku. Dan kedua siku merupakan anggota tubuh yang wajib di basuh, hal ini berdasarkan kepada Rasulallah SAW yang menjelaskan tentang hal itu.
d.   Mengusap kepala
Mengusap disini ialah membasahi dengan diusap, maka tidak dapat dikatakan mengusap kecuali dengan menyentuh anggota tubuh yang mengusap kepada yang diusap dan menggerakkannya. Maka dalam hal ini meletakkan tangan atau jari diatas kepala saja tidak dikatakan sebagai mengusap.[11]
e.    Membasuh kedua kaki
Membasuh kedua kaki beserta kedua mata kaki. Keterangan mengenai hal ini telah jelas dan hadits-hadits mutawattir.
f.     Tertib
Karena Allah SWT telah menyebutkan fardlu wudhu dalam ayatnya secara tertib. Allah memisahkan kedua kaki dari kedua tangan yang keduanya di fardlukan untuk membasuhnya dengan kepala, yang difardlukan untuk diusap. Dan orang Arab tidak memisahkan sesuatu yang setara dengan sesuatu yang setara lainnya kecuali memiliki faedah, dalam hal ini ialah tertib.[12]
3.   Tayammum
Makna tayammum secara harfiyah yaitu niat, tujuan, atau maksud. Adapun secara istilah tayammum berarti tujuan menggunakan debu dengan mengusap muka dan dua tangan dengan niat untuk melaksanakan shalat dan yang lainnya.
Dalam tata cara tayammum yang pertama dilakukan adalah niat, sebagaimana yang telah dijelaskan tentangnya tentang bab wudhu, kemudian mengucap basmalah dan memukulkan kedua tangan ke debu yang suci itu, lalu mengusapkannya ke wajah dan kedua tangan sampai pada sikut.
D.    Sarana Thaharah (Macam-Macam Air)
Air merupakan salah satu sarana untuk mensucikan atau membersihkan dari hadats. Air terbagi menjadi beberapa macam. Yakni air mutlak, air musta’mal, air yang berubah karena benda suci, dan air yang bertemu dengan najis.[13]
1.    Air Mutlaq
Pada dasarnya air adalah suci, yakni suci dzatnya dan dapat mensucikan. Air suci ini diantaranya adalah:
a.       Air hujan, salju, dan es
Merujuk pada firman Allah SWT.
وَأَنْزَلْنَامِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا .
Dan kami turunkan dari langit air yang amat bersih. (QS. Al-Furqan (25): 28)
Disurah yang lain Allah SWT berfirman.
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ.
Dan Allah SWT menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu. (Al-Anfal (8): 11)[14]
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata; “jika Rasulallah bertakbir ketika shalat beliau berhenti sejenak sebelum bacaan dimulai, aku berkata “Ya Rasulallah demi ayah, engkau dan ibuku, aku melihat engkau diam diantara takbir dan bacaan lain, apa yang engkau baca?” Rasul menjawab
“Aku membaca doa (yang artinya) Ya Allah jauhkanlah antara aku dan dosaku, seperti halnya Engkau memisahkan Timur dan Barat, Ya Allah bersihkan aku dari dosa-dosaku, seperti pakaian putih yang dibersihkan dari noda, Ya Allah bersihkanlah aku dari dosa melalui air salju dan es”. (HR. al-Jamaah kecuali At-Tirmidzi).[15]
b.      Air Laut
Merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hirairah ra, ia berkata: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah SAW, ia berkata, “wahai Rasulallah kami sedang naik kapal di laut, sementara kami membawa sedikit perbekalan dari air, dan jika kami berwudhu’ dengannya kamu akan kehausan. Bolehkah kami berwudu’ dengan air laut?” Rasulallah SAW menjawab
هُوَالطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Air laut itu suci dan mensucikan, bangkainya pun halal.[16]
c.       Air Zamzam
Berdasarkan hadits Ali ra, “Bahwa Rasulallah SAW mendatangkan seember air zamzam kemudian beliau meminumnya lalu berwudhu”. (HR. Ahmad)
d.      Air yang berubah ubah
Air yang berubah ubah karena terlalu lama mengendap atau dikarenakan lokasinya atau karena tercampur sesuatu yang umumnya tidak dapat dipisahkan darinya, seperti enceng gondok dan daun pohon. Menurut kesepakatan ulama’ air tersebut tetap masuk dalam kategori air mutlak.

2.    Air Musta’mal
Air Musta’mal adalah air yang menetes atau terjatuh dari anggota tubuh orang yang berwudhu atau mandi.
Status hukum air tersebut suci seperti halnya air mutlaq, dengan demikian tetap sah apabila seseorang bersuci dengannya tanpa ada unsur makruh sama sekali. Hal ini mengingat asal-usulnya yang suci dan mensucikan. Lagi pula tidak ada dalil yang mengeluarkan air musta’mal dari status kesuciannya.
Status kesucian air musta’mal ditetapkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Rasulallah SAW datang menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri, kemudian beliau wudhu lalu meneteskan bekas air wudhunya kepadaku, kemudian aku sadar.”
Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi SAW berpapasan dengannya disebuah jalan di kota Madinah, dan kala itu ia sedang dalam keadaan junub, maka iapun minggir, pergi, dan mandi kemudian datang (menghadap Nabi SAW). Rasulallah SAW pun menanyainya, “Kemana saja engkau, hai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Saya tadi junub, jadi saya tidak ingin duduk bersama Anda, sementara saya dalam keadaan tidak suci.” Rasulallah SAW menukas, “Maha Suci Allah, sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.
Aspek argumentatif yang dapat diambil dari Hadits diatas adalah bahawasanya orang mukmin itu tidak najis, sehingga tidak ada alasan baginya untuk menjadikan air kehilangan kesuciannya hanya lantaran ia memeganginya (menggunakannya), sebab tujuannya adalah bertemunya sesuatu yang suci pula, dan pertemuan itu tidak mempunyai efek atau dampak sama sekali. Pendapat ini dilansir dari Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’iy. Adapun dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Imam Malik memakruhkan bersuci dengan air musta’mal jika memang ada air selainnya. Begitu juga tidak boleh tayammum jika ada air musta’mal. Apabila tidak ditemukan air selainnya maupun air mutlaq yang bisa dimanfaatkan maka tidak makruh hukumnya bersuci dengan air musta’mal.
Adapun pendapat yang tepat (benar) menurut penulis adalah bahwasanya air musta’mal tetap suci lagi mensucikan. Hal ini sejalan dengan asal-usul air tersebut dan adanya dalil yang menunjukkan bahwa air itu suci dan mensucikan. Ini adalah pendapat segolongan ulama’ salaf dan khilaf.[17]
3.    Air yang berubah karena benda suci
Air yang berubah karena benda suci adalah air yang tercampur benda yang suci, misalnya tercampur sabun, minyak za’farun, dan air bunga mawar.
Status air tersebut tetap suci lagi mensucikan (thahur), selama masih terjaga kemutlakannya. Namun, jikalau air tersebut sudah dikalahkan oleh benda suci yang mencampurinya, sehingga mengakibatkan kemutlakan air itu tidak mampu mencukupinya. Dalam kondisi demikian, status air tersebut menurut pendapat tiga Imam pendiri madzhab (Imam Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad) tetap suci namun tidak lagi mensucikan.[18]
Dari Ummi ‘Athiyyah ia berkata: Rasul menghampiri kami ketika putrinya (Zainab) wafat. Ia berkata “mandikanlah ia tiga kali atau lima kali atau lebih banyak-jika kalian menemukannya-dengan air dan sidrin (jenis tanaman berduri) dan akhirilah dengan menggunakan kapur barus atau sesuatu sejenisnya.
Jika kalian telah selesai, maka berikanlah izin kepadaku, ketika kami telah selesai kami pun memberikan izin kepada Nabi. Lalu rasul memberikan kain penutup badannya (sejenis sarung) kepada kami, lalu beliau berkata (pakaikanlah kepadanya dengan itu). Yang dimaksud adalah kain sarung” (HR. Ahli Hadits)
Mayat tidak boleh dimandikan, kecuali dengan air yang dapat digunakan untuk bersuci oleh yang masih hidup. Menurut Imam Ahmad dan An-Nasa’i dan Ibn Khuzaimah dari hadits Ummi Hani. Sesungguhnya Nabi SAW dan Siti Maimunah bermandi, dari satu wadah yang sama, yaitu mangkuk besar bekas adonan. (dalam hadits-hadits lain ditemukan kata “bercampur”, kecuali bahwa hal demikian itu tidak sampai menghilangkan kemutlakan air)
4.    Air yang terkena najis
Air yang demikian mempunyai dua kondisi, yaitu sebagai berikut:
Pertama, benda najis itu mengubah rasa, warna, dan bau air. Dalam kondisi ini air tersebut sudah tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci menurut ijma’ ulama.
Kedua, air tetap dalam kemutlakannya, dalam artian air itu tidak berubah sama sekali dari segi rasa, warna, dan baunya. Dalam kondisi demikian, statusnya tetap suci lagi mensucikan, baik air itu sedikit maupun banyak.
Dalil yang dijadikan rujukan adalah hadits narasi Abu Hurairah ra, ia berkata: “Ada seorang Arab Badui yang berdiri, kemudian kencing di dalam masjid. Maka orang-orang langsung berdiri menghampirinya hendak memukulinya. Nabi SAW dengan segera mencegah seraya bersabda, yang artinya:
Biarkan dia, lalu siramkan diatas air kencingnya setimba besar air atau setimba air. Sesungguhnya kalian diutus  untuk  kemudahan dan tidak diutus untuk kesukaran.
Aspek argumentatif hadits ini, seandainya najis itu memberikan bekas pada benda yang dikenainya, maka menjadi tidak salah atau tidak bolehlah membersihkan tempat itu hanya dengan air tersebut.
Hadits lain yang dijadikan rujukan adalah hadits narasi Abu Sa’id Al-Khudri ra, ia berkata: Rasulallah SAW pernah ditanya, “Wahai Rasulallah, apakah kita boleh berwudhu’ dari sumur Budha’ah, sedangkan sumur itu telah terkena kotoran haid, daging anjing, dan sesuatu yang berbau busuk?” Beliau menjawab, “Air itu suci dan tidak ternajiskan oleh apapun.”
Pendapat ini dianut oleh Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Imam Hasan Al-Basri, Ibnu Al-Musayyab, Ikrimah, Ibnu Abu Laila, Imam Ats-Tsauri, Abu Dawud Azh-Zhaihiri, Imam An-Nakha’i, Imam Malik, dan yang lain-lain, memilih pendapat ini. Imam Al-Ghazali mengatakan, saya berharap seandainya mazhab Imam Asy-Syafi’iy dalam masalah air seperti madzhab Imam Maliki.[19]






[1] Muhammad Shalih. Intisari Fiqih Islami. (Surabaya, Pustaka La Raiba Bima Amanta, 2007)  hal 24
[2] http://riwayat5imammazahb.wordpress.com/riwayat-5-imam-mazahb/bab1-thaharah/
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam . Fiqih Ibadah. (Jakarta, AMZAH, 2009) hal 3
[4]Al-Qur’an Surah  al-Baqarah: 222
[5] Al-Qur’an Surah al-Taubah: 108
[6] Abdurrahman Al-Jirazi. Fiqh Empat Madzhab. (Jakarta, Darul Ulum, 1996) hal 7
[7] Muhammad Shalih. Intisari Fiqih Islami. (Surabaya, Pustaka La Raiba Bima Amanta, 2007)  hal 24
[8] Yusuf Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007) hal 59
[9] Yusuf Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007) hal 35
[10] Yusuf Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007) hal 37
[11] Yusuf Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007) hal 37
[12] Yusuf Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007) hal 38
[13] Abdul Aziz Muhammad Azzam . Fiqih Ibadah. (Jakarta, AMZAH, 2009) hal 3
[14] Ibid, hal 4
[15] Yusuf Qaradhawi Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung, Penerbit Jabal, 2007)  hal 9
[16] Abdul Aziz Muhammad Azzam . Fiqih Ibadah. (Jakarta, AMZAH, 2009) hal 5
[17] Abdul Aziz Muhammad Azzam . Fiqih Ibadah. (Jakarta, AMZAH, 2009) hal 6
[18] Abdul Aziz Muhammad Azzam . Fiqih Ibadah. (Jakarta, AMZAH, 2009)  hal 7
[19] Abdul Aziz Muhammad Azzam . Fiqih Ibadah. (Jakarta, AMZAH, 2009) hal 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar