Jumat, 21 Oktober 2016

KEWENANGAN MA DAN MK



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Latar belakang dikeluarkannya undang-undang Mahkamah Agung 1985 ini diuraikan dalam Penjelasan Umumnya sebagai berikut ini.

Salah satu unsur dalam tujuan pembangunan nasional yang diamanatkan Garis-garis Besar Haluan  Negara adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana peri kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, dan tertib.

Suasana peri kehidupan tersebut diatas merupakan bagian dari gambaran terhadap tata kehidupan bangsa Indonesia yang di cita-citakan perwujudannya melalui rangkaian upaya dan kegiatan pembangunan yang berlanjut dan berkeseimbangan. Namun demikian pengalaman dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sejak kemerdekaan menunjukkan, bahwa usaha untuk mewujudkan peri kehidupan seperti itu sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang saling berkait satu dengan lainnya.

Cita tentang keadilan, kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban sistem serta penyelenggaraan hukum merupakan hal mempengaruhi tumbuhnya suasana peri kehidupan sebagaimana di maksudkan diatas. Masalahnya adalah bahwa hal tersebut secara bersamaan merupakan pula tujuan kegiatan pembangunan nasional. Dengan pemahaman seperti ini pula, maka salah satu pendekatan yang ingin dilakukan adalah kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.[1]

Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai the guardian of the constitution  seperti sebutan yang biasa dinisbatkan kepada Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Mengapa justru Mahkamah Agung yang disebut sebagai the guardian of the constitution di Amerika Serikat. Sebabnya ialah karena disana tidak ada Mahkamah Konstitusi. Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam arti yang lazim dikenal didalam system Eropa yang menganut tradisi civil low seperti Austria, Jerman dan Italia terintegrasikan kedalam kewenangan Mahkamah Agung Amerika Serikat, sehingga Mahkamah Agunglah yang disebut sebagai the guardian of the constitution.[2]

B.     Rumusan Makalah
1.      Apa pengertian MA danMK ?
2.      Terdiri dari apa saja keanggotaan MA dan MK ?
3.      Apa wewenang MA dan MK ?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian MA dan MK
2.      Mengetahui keanggotaan MA dan MK
3.      Mengetahui kewenangan MA dan MK













BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian MA dan MK
Negara kesatuan repubilk Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.[3]

Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk siapapun. Sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakkan kekuasaan kehakiman kecuali.

Hukum dan keadilan. Upaya ke arah tersebut diakukan dengan : (1) mengadakan penataan ulang lembaga Yudikatif,(2) peningkatan kualifikasi hakim, dan (3) penataan ulang perundang-undangan yang berlaku.

Impikasi dari ketentuan tersebut, maka amandemen UUD 1945 membagi kekuasaan lembaga Yudikatif dalam tiga kamar yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusidan (MK), Komisi Yudisial (KY).

1.      Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman ditanah air kita, yang dalam pelaksanaan tugasnya harus bersih dan lurus, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya apapun. Menurut penjelasan Pasal 24 dan 25 Undang-undang Dasar 1945, bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka yang artinya terlepas dari pengaruh pemerintah. Berhubung dengan itu harus di adakan jaminan dalam Undang-Undang kedudukannya para hakim.[4]

Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbanagan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga-lembaga Negara. Mahkamah Agung dapat memberikan nasihat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam hal pemberian atau penolakan grasi. Selain itu Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara material hanya terhadap peraturan-peraturan dibawah Undang-undang.

2.      Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga negara yang ada setelah adanya amandemen UUD 1945 dalam konteks ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan : pertama sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksannakan oleh komonen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Ketiga, ditengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.[5]

B.     Keanggotaan MAdan MK
1.      Susunan Keanggotaan Mahkamah Agung
Susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman diatur dengan UU No. 14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman, dan khusus ketentuan tentang Mahkamah Agung diatur dalam UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Pasal 4 UU No. 5 Tahun 2004 menentukan susunan MA terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera dan seorang sekretaris. Adapun jumlah Hakim Agung paling banyak enam puluh orang.

a.       Hakim Agung, Pimpinan dan Hakim Anggota
Pimpinan MA terdiri dari: seorang ketua; dua orang wakil ketua; dan beberapa orang ketua muda. Wakil ketua MA meliputi: (1) Wakil ketua bidang yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda militer, dan ketua muda tata usaha negara; (2) wakil ketua bidang non-yudisial yang membawahi; ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.

Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung dan diangkat oleh presiden. Sedangkan ketua muda MA diangkat oleh Presiden di antara Hakim Agung yang diajukan oleh ketua MA.

Para Hakim Agung diangkat oleh presiden dari nama calon yang diajukan oleh DPR. Calon Hakim Agung dipilih oleh DPR dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon harus memenuhi persyaratan antara lain: (1) Warga Negara Indonesia, (2) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum, (4) berusia sekurang-kurangnya 50 tahun, (5) sehat jasmani dan rohani, dan (6) berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh tahun) menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi.

Proses pemberhentian dengan hormat Hakim Agung Mahkamah Agung dari jabatannya dilakukan presiden atas usul ketua MA apabila: (1) meninggal dunia, (2) telah berumur 65 tahun, (3) sakit jasmani rohani terus-menerus atau, (4) ternyata tidak cakap menjalankan tugasnya. Sedangkan pemberhantian tidak dengan hormat Hakim Agung Mahkamah Agung dari jabatannya dilakukan oleh Presidan atas usul Mahkamah Agung karena; (1) dijatuhkan hukuman pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, (2) melakukan perbuatan tercela, (3) terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya, (4) melanggar sumpah atau janji jabatan, atau (5) melanggar larangan berdasarkan peraturan perundang-undangan.[6]

b.      Panitera
Pada MA ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin seorang panitera yang dibantu oleh beberapa orang panitera uda dan beberapa orang panitera pengganti. 

Panitera ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

Untuk dapat diangkat menjadi panitera MA, seorang calon harus memenuhi persyaratan: (1) WNI, (2) bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, (3) berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dibidang hukum dan (4) berpengalaman sekurang-kurangnya 2 tahun sebagai panitera muda pada MA dan sekurang-kurangnya 3 tahun sebagai panitera pada pengadilan tingkat banding.

c.       Sekretariat
Sekretariat MA dipimpin oleh seorang sekretaris MA. Sekretaris MA diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua MA.

Pada secretariat MA dibentuk beberapa direktora jendral dan badan yang dipimpin oleh beberapa direktur jendral dan kepada badan yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua MA.[7]

2.      Susunan Keanggotaan Mahkamah Konstitusi
Di dalam Mahkamah Konstitusi terdapat tiga pranata (institusi), yaitu hakim konstitusi, secretariat jendral, dan kepaniteraan. Pasal 7 No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan: “untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah secretariat jendral dan kepaniteraan.” Artinya, institusi utama dari Mahkamah Konstitusi adalah Sembilan hakim konstitusi yang dalam melaksanakan kewenangan dan kewajiban konstitusionalnya, dibantu dua institusi lainnya, yaitu secretariat jenderal dan kepaniteraan.

a.       Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang di tetapkan dengan keputusan Presiden. Kesembilan hakim tersebut diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dalam bersikap, negarawan, dan tidak merangkap sebagai pejabat negara.

Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan tujuh anggota hakim Mahkamah Konstitusi. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi, untuk masa jabatan tega tahun. Untuk melengkapi tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 1/PMK/2003.

Agar dapat diangkatmenjadi hakim, seorang calon harus memenuhi syarat: (1) WNI, (2) berpendidikan strata satu (S-1) bidang hukum, (3) berusia sekurang-kurangnya 40 tahun pada saat pengangkatan, (4) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, (5) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, dan (6) mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya sepuluh tahun.[8]

Keberadaan masing-masing hakim konstitusi merupakan institusi yang otonom dan independen, tidak mengenal hierarki dalam pengambilan putusan sabagai pelaksanaan dan kewenangan konstitusionalnya. Dalam memiriksa, mengadili, dan memutus perkara di Mahkamah Konstitusi, Ketua dan Wakil ketua tidak dapat mempengaruhi pendapat para hakim lainnya, begitupun sebaliknya.

b.  Sekretariat   Jenderal  
Sekretariat Jenderal Mahkamah   Konstitusi   yang menurut ketentuan UU No. 24 Tahun 20037  dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7 UU ini menyatakan:  “Untuk kelancaran pelaksanaan  tugas  dan wewenangnya, Mahkamah   Konstitusi  dibantu   oleh  sebuah Sekretariat  Jenderal  dan kepaniteraan”. Penjelasan pasal   ini menegaskan:   “Sekretariat   Jenderal menjalankan  tugas teknis administratif

c. Kepaniteraan
Kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi  justisial”.  Pembedaan  dan pemisahan  ini tidak  lain  dimaksudkan untuk menjamin agar administrasi peradilan atau administrasi  justisial di bawah kepaniteraan tidak  tercampur-aduk  dengan  administrasi  non-justisial  yang  menjadi  tanggungjawab sekretariat  jenderal. 

Baik  sekretariat  jenderal   maupun  kepaniteraan  masing-masing dipimpin  oleh  seorang  pejabat  tinggi  yang  ditetapkan  dengan  Keputusan  Presiden. Dengan demikian, Sekretaris Jenderal dan  Panitera sama-sama mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti memang merupakan jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat dengan Keputusan Presiden dan karena itu disetarakan dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Untuk menjamin kemandirian MK di bidang finansial, maka UU No.24/2003 juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai mata anggaran tersendiri dalam APBN8.

C.     Kewenangan MA dan MK
1.      Mahkamah Konstitusi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
a.       Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD.
b.      Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
c.       Memutus pembubaran partai politik.
d.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
e.       Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD.[9]
Ada beberapa kritik yang biasa diajukan orang berkenaan dengan pembagian tugas antara Mahkamah Kontitusi dan Mahkamah Agung. Salah satunya adalah dalam soal pembagian tugas di bidang pengujian peraturan (Judicial review) atas peraturan perundang-undangan. Mahkamah Kontitusi berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat 1 ditentukan berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadapUndang-Undang Dasar. Sedangkan dalam Pasal  24A  ayat 1 dinyatakan: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji  peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang”.

Pembagian demikian sama sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Misalnya, berkenaan dengan keabsahan materil PP No. 110 Tahun 2000 dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 di satu pihak, Pasal 18 UUD 1945 dipihak lain misalnya, dapat saja terjadi Mahkamah Agung memutuskan bahwa PP No. 110 Tahun 2000 tersebut bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 1999. Sementara pada saat yang sama Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU No 22 Tahun 1999 itu bertentangan dengan UUD 1945.

Dari ketentuan Pasal 24C dapat diketahui bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi sangatlah luas. Pertama, pemberian wewenang kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, dipandang lebih tepat daripada wewenang tersebu tdiberikan kepada MPR. Dan sebagai konsekuensi yuridis pengaturan wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, maka ketentuan di dalam Pasal 5 ayat 1 Ketatapan MPR RI No.III/MPR/2000 harus dianggap dengan sendirinya batal demi hukum.

Disampingi tu, perlu pula ditegaskan kembali siapa yang berwenang menguji Undang-Undang terhadap Ketetapan MPR apakah wewenang tersebut masih melekat pada MPR atau juga menjadi Kewenangan Mahkamah Konstitusi? Persoalan ini dimajukan karena yang diatur dalam Perubahan Ketiga Pasal 24C ayat 1 adalah wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menguj Undang-Undang terhadap UUD sementara kewenangan menguji Undang-Undang terhadap Ketetapan MPR sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tidak ditegaskan dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Dapatkah disimpulkan bahwa oleh karena Mahkamah Konstitusi diberi wewenang untuk menguji Undang-Undang terhadap Ketetapan MPR juga termasuk ke dalam wewenang Mahkamah Konstitusi? Atau sebaliknya, bahwa persoalan tersebut masih menjadi wewenang MPR.[10]

2.      Mahkamah Agung
Mahkamah Agung memiliki wewenang menguji secara material hanya terhadap peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang. Sehubungan dengan hak menguji yang dipunyai Mahkamah Agung ini, maka tentang hal ini perlu diberikan penjelasan seperlunya berdasarkan Ilmu Pengetahuan Hukum, karena berdasarkan ilmu pengetahuan ini masalah hak menguji dapat dibedakan atas hak menguji formal dan hak menguji material.[11]

Hak Menguji Formal ialah hak untuk menilai caranya pembuatan peraturan perundangan, apakah dalam pembuatan undang-undang itu Presiden dengan Pemerintah benar-benar dengan persetujuan DPR (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945) dan disetujui pihak DPR (Pasal 20 ayat (1) UUD 1945). Sedangkan Hak Menguji Material ialah menilai dan menentukan tentang isinya dari undang-undang itu.

Kalau kita perhatikan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, terutama Pasal 26 ayat (1) dan (2) ialah:
Ayat (1) menyatakan:
“Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sahnya semua peraturan perundangan dari tingkat yang......dari Undang-undang. Atas alasan pertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.”

Ayat (2) menyatakan:
Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dalam dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat dasar. Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dalam Ketetapan MPR yang dapat mengaturnya sebagai suatu perwujudan dari hubungan hukum antara alat perlengkapan negara yang ada dalam negara, berarti bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, tidak dapat memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan hak menguji, apalagi secara material Undang-Undang Dasar.

Dengan demikian maka berdasarkan Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU No. 14 Tahun 1970, telah dapat diambil kesimpulan bahwa Mahkamah Agung hanya mempunyai wewenang untuk menguji secara material yang terbatas pada peraturan perundangan yang letaknya di bawah Undang-Undang. Jadi Mahkamah Agung tidak mempunyai hak menguji, baik formal maupun mateial terhadap Undang-Undang.[12]

Mahkamah Agung tentunya akan ditopang oleh Badan-badan Kehakiman dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, adapun Badan-badan Kehakiman tersebut yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970, terutama dalam ayat (1) diterangkan bahwa kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan; Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara.
a.       Peradilan Umum
Badan Pelaksana Peradilan Umum  adalah Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
1)     Pengadilan Negeri
Merupakan pengadilan umum sehari-hari, memeriksa dan memutus perkara dalam tingkat pertama segala perkara perdata dan perkara pidana sipil untuk semua golongan penduduk (baik warga negara maupun orang asing). Diadili oleh 3 orang Hakim dan dibantu seorang Panitera, kecuali dalam perkara sumir dan ringan, yang ancaman hukumannya kurang dari satu tahun diadili oleh Hakim Tunggal (seorang Hakim). Pengadilan Negari dibentuk oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Mahkamah Agung, terdiri atas Pengadilan Negeri Kelas I dan II, daerah hukum pada asasnya meliputi satu daerah tingkat II. Panitera diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman, sedang Panitera Pengganti oleh Kepala Pengadilan Setempat.

2)     Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding yang akan mengadili kembali perkara perdata dan pidana yang telah diadili Pengadilan Negeri akan tetapi dinaik bandingkan baik oleh terdakwanya ataupun oleh jaksa yang merasa kurang puas atas keputusan Pengadilan Negeri yang mengadili perkara itu.

Pengadilan Tinggi mempunyai wewenang untuk mengadili:
a)      Memutus dalam tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan Negeri di dalam daerah hukumnya.
b)      Memberi pimpinan kepada Pengadilan-pengadilan Negeri di dalam daerah hukumnya.
c)      Melakukan pengawasan pada jalannya peradilan di dalam daerah hukumnya dan menjaga supaya peradilan diselenggarakan dengan seksama dan selayaknya.
d)      Melakukan pengawasan atas perbuatan hakim Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
e)      Berwenang untuk memerintahkan pengiriman berkas-berkas perkara dan surat-surat untuk diteliti, memberi penilaian atas kecakapan dan kerajinan para hakim, memberi peringatan teguran dan petunjukn yang dipandang perlu kepada Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

Tentang Mahkamah Agung telah diterangkan di awal, hanya dapat ditambahkan bahwa perkara-perkara yang dikasasikan dapat dapat diadili oleh pihak Mahkamah Agung.

Untuk kasasi ini Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan dan penetapan pengadilan dalam tingkat kasasi:
a)      Karena pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya perbuatan yang bersangkutan.
b)      Karena melampaui batas wewenangnya.
c)      Karena salah menerapkan atas karena melanggar peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

Jadi berdasarkan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970, wewenang Mahkamah Agung adalah (a) Tugas wewenang dalam kasasi, (b) tugas wewenang dalam peninjauan kembali keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum, (c) tugas wewenang untuk memutus sengketa antara pengadilan negeri di beberapa lingkungan Peradilan, (d) tugas wewenang dalam menguji peraturan di bawah Undang-Undang.

b.      Peradilan Agama
Dasar hukum dari Pengadilan Agama adalah Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling, dimana secara jelas ditentukan bahwa: “perkara-perkara perdata antara orang-orang Islam, masuk wewenang Peradilan Agama Islam apabila hukum adat mereka sepanjang tidak ditentukan oleh Undang-Undang Ordonantie.”
Kalau kita perhatikan menurut sumbernya, terdapat 3 macam Peradilan Agama, yaitu:
1)     Staatblad 1882-152 jo, tentang Pengadilan Agama di Jawa – Madura, yang mengurus persoalan nikah, talaq, rujuk dan nafkah.
Staatblad 1937-116, 610 tentang Pengadilan Banding Mahkamah Islam Tinggi di Surakarta, sebagai instansi appel Pengadilan Agama untuk daerah Jawa – Madura.
2)     Staatbald 1937-638, 639 tentang Kerapatan Qadi di sekitar Banjarmasin, yang mengurus persoalan nikah, talaq, rujuk dan nafkah.
Staatblad 1937-638, 639 tentang Pengadilan Banding Kerapatan Qadi Besar di Banjarmasin – Kalimantan Selatan.
3)     Pengadilan Agama di daerah luar Jawa – Madura. Tingkat propinsi di Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang dan Banjarmasin untuk daerah-daerah hukum sendiri (PP Tahun 1957/No. 45, LN 1957 No. 99)[13]
Staatblad 1882 – 152 Pasal 2... ayat (1) menyatakan tentang wewenang Peradilan Agama.

c.       Peradilan Militer
Dasar hukum dari Peradilan Militer ini terdapat dalam (a) Undang-Undang No. 59 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan, (b) Undang-Undang No. 6 Tahun 1950 jo Undang-Undang No. 1/Drt/1958 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Militer.

Tentang tugas dan wewenang Peradilan Militer ialah mengadili hanya dalam lapangan pidana mereka yang pada saat melakukan tindak pidana adalah:
1)     Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
2)     Seorang yang pada waktu itu adalah orang yang oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan sarana dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
3)     Seorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan yang dipersamakan stau dianggap sebagai anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia oleh berdasarkan Undang-Undang.
4)     Orang yang tidak termasuk golongan 1), 2), dan 3), akan tetapi atas Keterangan Menteri Kehakiman harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

Perlu ditambahkan tentang Mahkamah Militer Agung, bahwa Mahkamah ini mengadili pada tingkat pertama dan terakhir perkara kejahatan dan pelanggaran yang berhubungan dengan jabatan yang dilakukan oleh:
1)     Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan
2)     Panglima Besar
3)     Kepala Staf Angkatan Bersenjata
4)     Selain dari yang telah disebutkan diatas, Mahkamah[14]

d.      Peradilan Tata Usaha Negara
Di negara kita yang sedang berkembang, tentunya sangat diharapkan kehadiran Undang-Undang yang mengatur tentang Tata Usaha tersebut, pada waktu naskah ini di sidang disusun, pihak DPRD dengan Pemrintah Tengah membahas RUU Hukum Tata Usaha Negara yang menurut berita resmi akan terdiri dari 141 pasal.

Dalam membahas tentang Lembaga Negara Mahkamah Agung ini, kita telah berhubungan dengan masalah-masalah peradilan, namun ada baiknya kalau dalam hal ini dimasukkan pula peninjauan tentang Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi. Yang kesemuanya ini merupakan hak dan wewenang Presiden yang sangat berkaitan dengan bidang peradilan.[15]













BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga negara yang ada setelah adanya amandemen UUD 1945, intinya fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten.

Susunan keanggotaan Mahkamah Agung meliputi pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris. Adapun jumlah Hakim Agung paling banyak enam puluh orang. Sedangkan Mahkamah Konstitusi meliputi Sembilan hakim konstitusi yang dalam melaksanakan kewenangan dan  kewajiban  konstitusional dibantu dua institusi lainnya, yaitu sekretariat jendral dan kepaniteraan.

KewenanganMahkamahKonstitusiMengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD.Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannyadiberikan oleh UUD.Memutus pembubaran partai politik.Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD

KewenanganMahkamahAgung memiliki wewenang menguji secara material hanya terhadap peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang.

B.     Saran
Didalam suatu kelembagaan negara yang berupa badan yudikatif yang berperan mengenai kekuasaan kehakiman sangat di perlukan informasi-informasi dari beberapa kamar yaitu Mahkamah Agung dan Mahakamah Konstiusi agar terjalin suatu kepemerintahan menjadi lebih baik dari pada sebelum-sebelumnya






























DAFTAR PUSTAKA

Baca Jimly Asshiddiqie. 2004.Model-ModelPengujianKonstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konpress.

Kansil. 1987.HukumTata Negara Republik Indonesia.Jakarta: PT Bina Aksara.

Kartasapoetra. 1987. SistematikaHukum Tata Negara. Jakarta: PT. BinaAskara

Ni’matul Huda. 2003.Politik Ketatanegaraan Indonesia.Jakarta: FH. UII Press

TitikTriwulan. 2011. Hukum Tata Usaha Negara &HukumAcaraPeradilan Tata Usaha Negara Indonesia.Jakarta: KatalogDalamTerbitan,

Tutik Titik Triwulan. 2006.Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia.  Jakarta: Katalog Dalam Tertiban.


[1]Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: PT BinaAksara, 1987) hal 273
[2]Baca JimlyAsshiddiqie, Model modelPengujianKonstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konpress, 2004), hal 113
[3]TutikTitikTriwulan, Pokok-PokokHukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: KatalogDalamTertiban, 2006), hal 153
[4]Kartasapoetra, SistematikaHukum Tata Negara, (Jakarta: PT. BinaAskara, 1987)
[5]TitikTriwulan, Hukum Tata Usaha Negara &HukumAcaraPeradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: KatalogDalamTerbitan, 2011) hal 96
[6]TutikTitikTriwulan , Op. Cit. hal 157
[7]TutikTitikTriwulan, Op. Cit. hal 158
[8]TutikTitikTriwulan, Op. Cit. hal 165
[9]Ni’matul Huda, PolitikKetatanegaraan Indonesia, (Jakarta: FH. UII Press, 2003), hal 224
[10]Ibid, hal 226
[11]Kartasapoetra, Op. Cit. hal 67
[12]Ibid, hal 70
[13]Ibid, hal 73
[14]Ibid, hal 76
[15]Ibid, hal 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar