BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Latar belakang dikeluarkannya undang-undang Mahkamah Agung 1985 ini diuraikan dalam Penjelasan Umumnya sebagai berikut ini.
Salah satu unsur
dalam tujuan pembangunan nasional yang diamanatkan Garis-garis Besar Haluan Negara adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,
berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana peri kehidupan bangsa
yang sejahtera, aman, tentram, dan tertib.
Suasana peri kehidupan
tersebut diatas merupakan bagian dari gambaran terhadap tata kehidupan bangsa
Indonesia yang di cita-citakan perwujudannya melalui rangkaian upaya dan kegiatan
pembangunan yang berlanjut dan berkeseimbangan. Namun demikian pengalaman dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa sejak kemerdekaan menunjukkan, bahwa usaha untuk
mewujudkan peri kehidupan seperti itu sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang
saling berkait satu dengan lainnya.
Cita tentang keadilan,
kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban sistem serta penyelenggaraan hukum merupakan
hal mempengaruhi tumbuhnya suasana peri kehidupan sebagaimana di maksudkan diatas.
Masalahnya adalah bahwa hal tersebut secara bersamaan merupakan pula tujuan kegiatan
pembangunan nasional. Dengan pemahaman seperti ini pula, maka salah satu pendekatan
yang ingin dilakukan adalah kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.[1]
Mahkamah Konstitusi
dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai
the guardian of the constitution seperti
sebutan yang biasa dinisbatkan kepada Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Mengapa justru Mahkamah Agung yang disebut sebagai the guardian of the constitution di Amerika Serikat. Sebabnya ialah karena disana tidak ada Mahkamah Konstitusi. Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam arti yang lazim dikenal didalam system Eropa yang menganut tradisi civil low seperti Austria, Jerman dan Italia terintegrasikan kedalam kewenangan Mahkamah Agung Amerika Serikat, sehingga Mahkamah Agunglah yang disebut sebagai the guardian of the constitution.[2]
B.
Rumusan Makalah
1. Apa pengertian MA danMK ?
2. Terdiri dari apa saja keanggotaan MA dan MK ?
3.
Apa wewenang MA dan MK ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian MA dan MK
2.
Mengetahui keanggotaan MA dan MK
3.
Mengetahui kewenangan MA dan MK
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian MA dan MK
Negara kesatuan repubilk Indonesia adalah negara hukum yang
menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka menjalankan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945.[3]
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting
bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Ini menghendaki kekuasaan kehakiman
yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk siapapun. Sehingga
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakkan kekuasaan
kehakiman kecuali.
Hukum dan keadilan. Upaya ke arah tersebut diakukan dengan : (1)
mengadakan penataan ulang lembaga Yudikatif,(2) peningkatan kualifikasi hakim, dan
(3) penataan ulang perundang-undangan yang berlaku.
Impikasi dari ketentuan tersebut, maka amandemen UUD 1945 membagi kekuasaan
lembaga Yudikatif dalam tiga kamar yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusidan
(MK), Komisi Yudisial (KY).
1.
Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah
badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman ditanah air kita, yang dalam pelaksanaan
tugasnya harus bersih dan lurus, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lainnya apapun. Menurut penjelasan Pasal 24 dan 25 Undang-undang
Dasar 1945, bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka yang artinya
terlepas dari pengaruh pemerintah. Berhubung dengan itu harus di adakan jaminan
dalam Undang-Undang kedudukannya para hakim.[4]
Mahkamah Agung dapat
memberikan pertimbanagan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak,
kepada Lembaga-lembaga Negara. Mahkamah Agung dapat memberikan nasihat hukum kepada
Presiden selaku Kepala Negara dalam hal pemberian atau penolakan grasi. Selain itu
Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara material hanya terhadap peraturan-peraturan
dibawah Undang-undang.
2.
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
Konstitusi adalah sebuah lembaga negara yang ada setelah adanya amandemen UUD
1945 dalam konteks ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan : pertama
sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional
ditengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan
menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksannakan oleh komonen negara secara
konsisten dan bertanggungjawab. Ketiga, ditengah kelemahan sistem konstitusi
yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu
hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.[5]
B.
Keanggotaan MAdan MK
1.
Susunan Keanggotaan Mahkamah Agung
Susunan dan
kekuasaan Badan-badan Kehakiman diatur
dengan UU No. 14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004
Tentang kekuasaan kehakiman, dan khusus ketentuan tentang Mahkamah Agung diatur
dalam UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Pasal 4 UU No. 5 Tahun 2004
menentukan susunan MA terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera dan
seorang sekretaris. Adapun jumlah Hakim Agung paling banyak enam puluh orang.
a.
Hakim
Agung, Pimpinan dan Hakim Anggota
Pimpinan MA
terdiri dari: seorang ketua; dua orang wakil ketua; dan beberapa orang ketua
muda. Wakil ketua MA meliputi: (1) Wakil ketua bidang yudisial yang membawahi
ketua muda perdata, ketua muda militer, dan ketua muda tata usaha negara; (2)
wakil ketua bidang non-yudisial yang membawahi; ketua muda pembinaan dan ketua
muda pengawasan.
Ketua dan wakil
ketua MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung dan diangkat oleh presiden.
Sedangkan ketua muda MA diangkat oleh Presiden di antara Hakim Agung yang
diajukan oleh ketua MA.
Para Hakim
Agung diangkat oleh presiden dari nama calon yang diajukan oleh DPR. Calon
Hakim Agung dipilih oleh DPR dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial. Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon harus memenuhi
persyaratan antara lain: (1) Warga Negara Indonesia, (2) bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa; (3) berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai
keahlian di bidang hukum, (4) berusia sekurang-kurangnya 50 tahun, (5) sehat
jasmani dan rohani, dan (6) berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh
tahun) menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun menjadi hakim
tinggi.
Proses
pemberhentian dengan hormat Hakim Agung Mahkamah Agung dari jabatannya
dilakukan presiden atas usul ketua MA apabila: (1) meninggal dunia, (2) telah
berumur 65 tahun, (3) sakit jasmani rohani terus-menerus atau, (4) ternyata
tidak cakap menjalankan tugasnya. Sedangkan pemberhantian tidak dengan hormat
Hakim Agung Mahkamah Agung dari jabatannya dilakukan oleh Presidan atas usul
Mahkamah Agung karena; (1) dijatuhkan hukuman pidana karena bersalah melakukan
tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 tahun atau lebih, (2) melakukan perbuatan tercela, (3) terus-menerus
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya, (4) melanggar sumpah
atau janji jabatan, atau (5) melanggar larangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.[6]
b.
Panitera
Pada MA
ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin seorang panitera yang dibantu oleh
beberapa orang panitera uda dan beberapa orang panitera pengganti.
Panitera ini
diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Untuk dapat
diangkat menjadi panitera MA, seorang calon harus memenuhi persyaratan: (1)
WNI, (2) bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, (3) berijazah sarjana hukum atau
sarjana lain yang mempunyai keahlian dibidang hukum dan (4) berpengalaman
sekurang-kurangnya 2 tahun sebagai panitera muda pada MA dan sekurang-kurangnya
3 tahun sebagai panitera pada pengadilan tingkat banding.
c.
Sekretariat
Sekretariat MA
dipimpin oleh seorang sekretaris MA. Sekretaris MA diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Ketua MA.
Pada
secretariat MA dibentuk beberapa direktora jendral dan badan yang dipimpin oleh
beberapa direktur jendral dan kepada badan yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Ketua MA.[7]
2.
Susunan Keanggotaan Mahkamah Konstitusi
Di dalam
Mahkamah Konstitusi terdapat tiga pranata (institusi), yaitu hakim konstitusi,
secretariat jendral, dan kepaniteraan. Pasal 7 No. 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menyebutkan: “untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah secretariat jendral dan
kepaniteraan.” Artinya, institusi utama dari Mahkamah Konstitusi adalah
Sembilan hakim konstitusi yang dalam melaksanakan kewenangan dan kewajiban
konstitusionalnya, dibantu dua institusi lainnya, yaitu secretariat jenderal
dan kepaniteraan.
a.
Hakim
Konstitusi
Mahkamah
Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang di tetapkan
dengan keputusan Presiden. Kesembilan hakim tersebut diajukan masing-masing
tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh
Presiden. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil dalam bersikap, negarawan, dan tidak merangkap sebagai pejabat
negara.
Mahkamah
Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua
merangkap anggota dan tujuh anggota hakim Mahkamah Konstitusi. Ketua dan wakil
ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi, untuk masa jabatan tega tahun.
Untuk melengkapi tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua, Mahkamah Konstitusi
telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 1/PMK/2003.
Agar dapat
diangkatmenjadi hakim, seorang calon harus memenuhi syarat: (1) WNI, (2)
berpendidikan strata satu (S-1) bidang hukum, (3) berusia sekurang-kurangnya 40
tahun pada saat pengangkatan, (4) tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih, (5) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, dan
(6) mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya sepuluh
tahun.[8]
Keberadaan
masing-masing hakim konstitusi merupakan institusi yang otonom dan independen,
tidak mengenal hierarki dalam pengambilan putusan sabagai pelaksanaan dan
kewenangan konstitusionalnya. Dalam memiriksa, mengadili, dan memutus perkara
di Mahkamah Konstitusi, Ketua dan Wakil ketua tidak dapat mempengaruhi pendapat
para hakim lainnya, begitupun sebaliknya.
b.
Sekretariat Jenderal
Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi yang menurut ketentuan UU
No. 24 Tahun 20037 dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7 UU
ini menyatakan: “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu
oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan”.
Penjelasan pasal ini menegaskan:
“Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif
c. Kepaniteraan
Kepaniteraan menjalankan tugas teknis
administrasi justisial”. Pembedaan dan pemisahan ini
tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar administrasi peradilan
atau administrasi justisial di bawah kepaniteraan tidak tercampur-aduk
dengan administrasi non-justisial yang menjadi
tanggungjawab sekretariat jenderal.
Baik sekretariat jenderal
maupun kepaniteraan masing-masing dipimpin oleh
seorang pejabat tinggi yang ditetapkan
dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, Sekretaris Jenderal
dan Panitera sama-sama mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a.
Panitera dan Panitera Pengganti memang merupakan jabatan fungsional, bukan
struktural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat dengan Keputusan
Presiden dan karena itu disetarakan dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Untuk
menjamin kemandirian MK di bidang finansial, maka UU No.24/2003 juga menegaskan
bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai mata anggaran tersendiri dalam APBN8.
C.
Kewenangan MA dan MK
1.
Mahkamah Konstitusi
Kewenangan Mahkamah
Konstitusi diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
a.
Mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD.
b.
Memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
c.
Memutus
pembubaran partai politik.
d.
Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
e.
Wajib
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan
atau Wakil Presiden menurut UUD.[9]
Ada beberapa kritik yang biasa diajukan orang berkenaan dengan pembagian
tugas antara Mahkamah Kontitusi dan Mahkamah Agung. Salah satunya adalah dalam soal
pembagian tugas di bidang pengujian peraturan (Judicial review) atas peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Kontitusi berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat 1 ditentukan berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadapUndang-Undang Dasar. Sedangkan dalam Pasal 24A ayat
1 dinyatakan: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang”.
Pembagian demikian sama sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan
perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dengan
Mahkamah Agung. Misalnya, berkenaan dengan keabsahan materil PP No. 110 Tahun
2000 dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 di satu pihak, Pasal 18 UUD 1945
dipihak lain misalnya, dapat saja terjadi Mahkamah Agung memutuskan bahwa PP
No. 110 Tahun 2000 tersebut bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 1999. Sementara
pada saat yang sama Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU No 22 Tahun 1999
itu bertentangan dengan UUD 1945.
Dari ketentuan Pasal 24C dapat diketahui bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi
sangatlah luas. Pertama, pemberian wewenang kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji
Undang-Undang terhadap UUD, dipandang lebih tepat daripada wewenang tersebu tdiberikan
kepada MPR. Dan sebagai konsekuensi yuridis pengaturan wewenang Mahkamah Konstitusi
tersebut dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, maka ketentuan di
dalam Pasal 5 ayat 1 Ketatapan MPR RI No.III/MPR/2000 harus dianggap dengan sendirinya
batal demi hukum.
Disampingi tu, perlu pula ditegaskan kembali siapa yang berwenang menguji
Undang-Undang terhadap Ketetapan MPR apakah wewenang tersebut masih melekat pada
MPR atau juga menjadi Kewenangan Mahkamah Konstitusi? Persoalan ini dimajukan karena
yang diatur dalam Perubahan Ketiga Pasal 24C ayat 1 adalah wewenang Mahkamah Konstitusi
untuk menguj Undang-Undang terhadap UUD sementara kewenangan menguji Undang-Undang
terhadap Ketetapan MPR sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1 Ketetapan MPR
No.III/MPR/2000 tidak ditegaskan dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
1945. Dapatkah disimpulkan bahwa oleh karena Mahkamah Konstitusi diberi wewenang
untuk menguji Undang-Undang terhadap Ketetapan MPR juga termasuk ke dalam wewenang
Mahkamah Konstitusi? Atau sebaliknya, bahwa persoalan tersebut masih menjadi wewenang
MPR.[10]
2.
Mahkamah Agung
Mahkamah Agung
memiliki wewenang menguji secara material hanya terhadap peraturan-peraturan di
bawah Undang-Undang. Sehubungan dengan hak menguji yang dipunyai Mahkamah Agung
ini, maka tentang hal ini perlu diberikan penjelasan seperlunya berdasarkan
Ilmu Pengetahuan Hukum, karena berdasarkan ilmu pengetahuan ini masalah hak
menguji dapat dibedakan atas hak menguji formal dan hak menguji material.[11]
Hak Menguji
Formal ialah hak untuk menilai caranya pembuatan peraturan perundangan, apakah
dalam pembuatan undang-undang itu Presiden dengan Pemerintah benar-benar dengan
persetujuan DPR (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945) dan disetujui pihak DPR (Pasal 20
ayat (1) UUD 1945). Sedangkan Hak Menguji Material ialah menilai dan menentukan
tentang isinya dari undang-undang itu.
Kalau kita
perhatikan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, terutama Pasal 26 ayat (1) dan (2) ialah:
Ayat
(1) menyatakan:
“Mahkamah Agung
berwenang untuk menyatakan tidak sahnya semua peraturan perundangan dari
tingkat yang......dari Undang-undang. Atas alasan pertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi.”
Ayat (2)
menyatakan:
Putusan tentang
pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dalam dapat
diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat dasar. Pencabutan dari
peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh
instansi yang bersangkutan.
Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
dalam Ketetapan MPR yang dapat mengaturnya sebagai suatu perwujudan dari
hubungan hukum antara alat perlengkapan negara yang ada dalam negara, berarti
bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, tidak dapat memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan
hak menguji, apalagi secara material Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian maka berdasarkan Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU No.
14 Tahun 1970, telah dapat diambil kesimpulan bahwa Mahkamah Agung hanya mempunyai
wewenang untuk menguji secara material yang terbatas pada peraturan perundangan
yang letaknya di bawah Undang-Undang. Jadi Mahkamah Agung tidak mempunyai hak
menguji, baik formal maupun mateial terhadap Undang-Undang.[12]
Mahkamah Agung tentunya akan ditopang oleh Badan-badan Kehakiman
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, adapun Badan-badan Kehakiman tersebut
yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1970, terutama dalam ayat (1) diterangkan
bahwa kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan; Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara.
a.
Peradilan
Umum
Badan Pelaksana
Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
1)
Pengadilan
Negeri
Merupakan
pengadilan umum sehari-hari, memeriksa dan memutus perkara dalam tingkat
pertama segala perkara perdata dan perkara pidana sipil untuk semua golongan
penduduk (baik warga negara maupun orang asing). Diadili oleh 3 orang Hakim dan
dibantu seorang Panitera, kecuali dalam perkara sumir dan ringan, yang ancaman
hukumannya kurang dari satu tahun diadili oleh Hakim Tunggal (seorang Hakim).
Pengadilan Negari dibentuk oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Mahkamah
Agung, terdiri atas Pengadilan Negeri Kelas I dan II, daerah hukum pada asasnya
meliputi satu daerah tingkat II. Panitera diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Kehakiman, sedang Panitera Pengganti oleh Kepala Pengadilan Setempat.
2)
Pengadilan
Tinggi
Pengadilan
Tinggi adalah pengadilan banding yang akan mengadili kembali perkara perdata
dan pidana yang telah diadili Pengadilan Negeri akan tetapi dinaik bandingkan
baik oleh terdakwanya ataupun oleh jaksa yang merasa kurang puas atas keputusan
Pengadilan Negeri yang mengadili perkara itu.
Pengadilan
Tinggi mempunyai wewenang untuk mengadili:
a)
Memutus
dalam tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa wewenang mengadili antara
Pengadilan Negeri di dalam daerah hukumnya.
b)
Memberi
pimpinan kepada Pengadilan-pengadilan Negeri di dalam daerah hukumnya.
c)
Melakukan
pengawasan pada jalannya peradilan di dalam daerah hukumnya dan menjaga supaya
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan selayaknya.
d)
Melakukan
pengawasan atas perbuatan hakim Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
e)
Berwenang
untuk memerintahkan pengiriman berkas-berkas perkara dan surat-surat untuk
diteliti, memberi penilaian atas kecakapan dan kerajinan para hakim, memberi peringatan
teguran dan petunjukn yang dipandang perlu kepada Pengadilan Negeri di daerah
hukumnya.
Tentang Mahkamah Agung telah diterangkan di awal, hanya dapat
ditambahkan bahwa perkara-perkara yang dikasasikan dapat dapat diadili oleh
pihak Mahkamah Agung.
Untuk kasasi ini Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan dan
penetapan pengadilan dalam tingkat kasasi:
a)
Karena
pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya perbuatan yang
bersangkutan.
b)
Karena
melampaui batas wewenangnya.
c)
Karena
salah menerapkan atas karena melanggar peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Jadi berdasarkan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970, wewenang Mahkamah
Agung adalah (a) Tugas wewenang dalam kasasi, (b) tugas wewenang dalam
peninjauan kembali keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum,
(c) tugas wewenang untuk memutus sengketa antara pengadilan negeri di beberapa
lingkungan Peradilan, (d) tugas wewenang dalam menguji peraturan di bawah
Undang-Undang.
b.
Peradilan
Agama
Dasar hukum
dari Pengadilan Agama adalah Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling, dimana
secara jelas ditentukan bahwa: “perkara-perkara perdata antara orang-orang
Islam, masuk wewenang Peradilan Agama Islam apabila hukum adat mereka sepanjang
tidak ditentukan oleh Undang-Undang Ordonantie.”
Kalau kita
perhatikan menurut sumbernya, terdapat 3 macam Peradilan Agama, yaitu:
1)
Staatblad
1882-152 jo, tentang Pengadilan Agama di Jawa – Madura, yang mengurus persoalan
nikah, talaq, rujuk dan nafkah.
Staatblad
1937-116, 610 tentang Pengadilan Banding Mahkamah Islam Tinggi di Surakarta,
sebagai instansi appel Pengadilan Agama untuk daerah Jawa – Madura.
2)
Staatbald
1937-638, 639 tentang Kerapatan Qadi di sekitar Banjarmasin, yang mengurus
persoalan nikah, talaq, rujuk dan nafkah.
Staatblad
1937-638, 639 tentang Pengadilan Banding Kerapatan Qadi Besar di Banjarmasin –
Kalimantan Selatan.
3)
Pengadilan
Agama di daerah luar Jawa – Madura. Tingkat propinsi di Banda Aceh, Medan,
Padang, Palembang, Ujung Pandang dan Banjarmasin untuk daerah-daerah hukum
sendiri (PP Tahun 1957/No. 45, LN 1957 No. 99)[13]
Staatblad 1882 – 152 Pasal 2... ayat (1) menyatakan tentang wewenang
Peradilan Agama.
c.
Peradilan
Militer
Dasar hukum
dari Peradilan Militer ini terdapat dalam (a) Undang-Undang No. 59 Tahun 1950
tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan
Ketentaraan, (b) Undang-Undang No. 6 Tahun 1950 jo Undang-Undang No. 1/Drt/1958
tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Militer.
Tentang tugas
dan wewenang Peradilan Militer ialah mengadili hanya dalam lapangan pidana
mereka yang pada saat melakukan tindak pidana adalah:
1)
Anggota
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
2)
Seorang
yang pada waktu itu adalah orang yang oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah
ditetapkan sarana dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
3)
Seorang
yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan yang dipersamakan stau
dianggap sebagai anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia oleh
berdasarkan Undang-Undang.
4)
Orang
yang tidak termasuk golongan 1), 2), dan 3), akan tetapi atas Keterangan
Menteri Kehakiman harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Militer.
Perlu ditambahkan tentang Mahkamah Militer Agung, bahwa Mahkamah
ini mengadili pada tingkat pertama dan terakhir perkara kejahatan dan
pelanggaran yang berhubungan dengan jabatan yang dilakukan oleh:
1)
Sekretaris
Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan
2)
Panglima
Besar
3)
Kepala
Staf Angkatan Bersenjata
4)
Selain
dari yang telah disebutkan diatas, Mahkamah[14]
d.
Peradilan
Tata Usaha Negara
Di negara kita
yang sedang berkembang, tentunya sangat diharapkan kehadiran Undang-Undang yang
mengatur tentang Tata Usaha tersebut, pada waktu naskah ini di sidang disusun,
pihak DPRD dengan Pemrintah Tengah membahas RUU Hukum Tata Usaha Negara yang
menurut berita resmi akan terdiri dari 141 pasal.
Dalam membahas
tentang Lembaga Negara Mahkamah Agung ini, kita telah berhubungan dengan
masalah-masalah peradilan, namun ada baiknya kalau dalam hal ini dimasukkan
pula peninjauan tentang Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi. Yang
kesemuanya ini merupakan hak dan wewenang Presiden yang sangat berkaitan dengan
bidang peradilan.[15]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mahkamah Agung
adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan
tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh
lainnya. Sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga negara yang ada
setelah adanya amandemen UUD 1945, intinya fungsi utama Mahkamah Konstitusi
adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten.
Susunan keanggotaan
Mahkamah Agung meliputi pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang sekretaris.
Adapun jumlah Hakim Agung paling banyak enam puluh orang. Sedangkan Mahkamah Konstitusi
meliputi Sembilan hakim konstitusi yang dalam melaksanakan kewenangan dan kewajiban
konstitusional dibantu dua institusi lainnya, yaitu sekretariat jendral dan
kepaniteraan.
KewenanganMahkamahKonstitusiMengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap UUD.Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannyadiberikan oleh UUD.Memutus pembubaran partai politik.Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.Wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden
menurut UUD
KewenanganMahkamahAgung memiliki wewenang menguji secara material hanya terhadap
peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang.
B.
Saran
Didalam suatu
kelembagaan negara yang berupa badan yudikatif yang berperan mengenai kekuasaan
kehakiman sangat di perlukan informasi-informasi dari beberapa kamar yaitu
Mahkamah Agung dan Mahakamah Konstiusi agar terjalin suatu kepemerintahan
menjadi lebih baik dari pada sebelum-sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA
Baca
Jimly Asshiddiqie. 2004.Model-ModelPengujianKonstitusional di Berbagai Negara. Jakarta:
Konpress.
Kansil. 1987.HukumTata Negara
Republik Indonesia.Jakarta:
PT Bina Aksara.
Kartasapoetra. 1987. SistematikaHukum Tata Negara. Jakarta: PT.
BinaAskara
Ni’matul Huda. 2003.Politik
Ketatanegaraan Indonesia.Jakarta: FH. UII
Press
TitikTriwulan. 2011. Hukum Tata Usaha
Negara &HukumAcaraPeradilan Tata Usaha Negara Indonesia.Jakarta: KatalogDalamTerbitan,
Tutik
Titik Triwulan. 2006.Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Katalog Dalam Tertiban.
[1]Kansil, Hukum Tata Negara
Republik Indonesia, (Jakarta: PT BinaAksara, 1987) hal 273
[2]Baca JimlyAsshiddiqie, Model
modelPengujianKonstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta: Konpress, 2004),
hal 113
[3]TutikTitikTriwulan, Pokok-PokokHukum
Tata Negara Indonesia, (Jakarta: KatalogDalamTertiban, 2006), hal 153
[4]Kartasapoetra, SistematikaHukum
Tata Negara, (Jakarta: PT. BinaAskara, 1987)
[5]TitikTriwulan, Hukum Tata Usaha
Negara &HukumAcaraPeradilan Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta:
KatalogDalamTerbitan, 2011) hal 96
[6]TutikTitikTriwulan , Op. Cit. hal
157
[7]TutikTitikTriwulan, Op. Cit. hal
158
[8]TutikTitikTriwulan, Op. Cit. hal
165
[9]Ni’matul Huda, PolitikKetatanegaraan
Indonesia, (Jakarta: FH. UII Press, 2003), hal 224
[11]Kartasapoetra, Op. Cit. hal 67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar