BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam pemerintahan republik Indonesia. Undang-undang Dasar tahun
1945 sangatlah penting. Karena didalamnya memuat tugas dan wewenang lembaga
negara di Indonesia ini. Selain itu juga terdapat aturan-aturan bentuk negara,
lembaga, lagu kebangsaan dan lain-lain. Undang-undang di buat harus sesuai
dengan keperluan dan harus peka zaman, artinya aturan yang dibuat oleh para DPR
kita sebelum di syahkan menjadi Undang-undang sebelumnya harus disosialisasikan
dahulu dengan rakyat. Salah satu bukti bahwa Undang-undang yang sudah tidak
relevan lagi dengan kondisi zamannya adalah Undang-Undang Dasar 1945. Oleh
karena itu Undang-Undang Dasar tahun 1945 di amandemen sebanyak 4 kali, yaitu
pada tanggal 19 Oktober 1999 yang merupakan amandemen pertama, tanggal 18
Agustus 2000 yang merupakan amandemen kedua, tanggal 10 November 2001 yang
merupakan amandemen ketiga dan tanggal 10 Agustus 2002 yang merupakan amandemen
terakhir atau amandemen keempat. Hal ini dilakukan agar isi Undang-Undang Dasar
tersebut bisa sesuai dengan perkembangan zaman dan memperbaikinya, sehingga
dapat menjadi dasar hukum yang baik dan tegas. Dan dalam proses tersebut ada
perbedaan antara sebelum amandemen dengan yang setelah amandemen.
Setelah UUD 1945 diamandemen, kehidupan ketatanegaraan Indonesia
mengalami perubahan yang cukup drastis dengan munculnya lembaga tinggi negara.
Seperti MPR, Presiden, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD, BPK, DPA (Dewan
Pertimbangan Agung), MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), Komisi
Yudisial. Semua tersebut mempunyai wewenang-wewenang tersendiri yang saling
berbeeda satu sama lain. [1]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Definisi
Lembaga Negara
2.
Pemahaman
mengenai lemabag Negara
3.
Trias
Politika Lembaga Negara
4.
Hubungan
Antar Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945
A.
Tujuan
1.
Untuk
menjelaskan Definisi dan pemahaman Lembaga Negara
2.
Untuk
mengetahui Kedudukan Trias Politika dalam Lembaga Negara
3.
Untuk
mengetahui Hubungan Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945
B.
Manfaat
Makalah ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pengembangan subtansi disiplin bidang ilmu hukum perdata terhadap mahasiswa/
mahasiswi terutama mengenai permasalah subjek hukum perdata serta permasalah
kecakapan dalam hukum perdata dan domisili juga ketidak hadiran dalam
Undang-Undang KUHP atau BW.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Lembaga Negara
Untuk memahami pengertian lembaga atau organ negara secara lebih
dalam, kita dapat mendekatinya dari pendapat Hans Kelsen mengenai the
concept of the State Organ dalam bukunya General Theory of Law and State.
Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the
legal order is an organ. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang
ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya,
organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk
organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula
disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma
(normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These
functions, be they of a norm creating or of a norm applying character, are all
ultimately aimed at the execution of a legal sanction.
Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga
negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan
organ negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang mengadili dan menghukum
penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman tersebut di lembaga
pemasyarakatan, adalah juga merupakan organ negara. Pendek kata, dalam
pengertian yang luas ini, organ negara itu identik dengan individu yang
menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara.
Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices)
dan pejabat publik atau pejabat umum (public officials).
Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan adanya
pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam
arti materiil. Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi
memiliki kedudukan hukum yang tertentu (...he personally has a specific
legal position). Suatu transaksi hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah
merupakan tindakan atau perbuatan yang menciptakan hukum seperti halnya suatu
putusan pengadilan.
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan,
lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang
dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang
dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukannya
tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. [2]
B.
Pemahaman Lembaga Negara
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga
pemerintahan, lembaga pemerintahan nondepartemen, atau lembaga negara saja. Ada
yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang
Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari Undang-Undang
dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.
Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat
pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan
dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk
berdasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena
Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan
hukum terhadap pejabat yang duduk didalamnya. Demikian pula jika lembaga
dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu
lebih rendah lagi tingkatannya.
Oleh karena itu, sebelum perubahan
UUD 1945, biasa dikenal adanya istilah lembaga pemerintah, lembaga departemen,
lembaga pemerintah nondepartemen, lembaga negara, lembaga tinggi negara, dan
lembaga tertinggi negara. Dalam hukum tata negara biasa dipakai pula istilah
yang menunjuk kepada pengertian yang lebih terbatas, yaitu kekuasaan
legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Bab III UUD 1945 mengatur tentang
kekuasaan pemerintahan negara. Isinya di satu segi menggambarkan proses dan
sistem pemerintahan negara. Bahkan sebelum diadakan Perubahan Pertama (tahun
1999), pengertian pemerintahan negara dalam Bab III Pasal 4 sampai dengan pasal
15 UUD 1945 juga mencakup pengertian yang luas meliputi fungsi legislatif,
sekaligus fungsi eksekutif. Dalam Konstitusi Amerika Serikat, kata “The
Government of the United States of America” dimaksudkan mencakup pengertian
pemerintahan oleh Presiden dan Kongres Amerika Serikat. Artinya kata “Government”
bukan hanya mencakup pemerintah dan pemerintahan eksekutif. Sistem Amerika
serikat berbeda dengan istilah sistem di Inggris. Meskipun kedua negara ini
bahasanya yang digunakan sama.
Namun, setelah Perubahan Pertama UUD
Negara Republik Indonesia tahun 1945, diadakan pergeseran kekuasaan legislatif
dengan mengalihkan lebih banyak peranan dalam kewenangan Dewan Perwakilan
Rakyat. Dengan adanya pergeseran, muatan ketentuan Bab III UUD 1945 mengenai
Kekuasaan Pemerintahan Negara berubah pula substansinya, tidak lagi mencakup
kekuasaan untuk membentuk UU yang telah dipindahkan menjadi materi Pasal 20
dalam bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya, cabang kekuasaan
pembentukan UU atau cabang kekuasaan legislatif bukan lagi termasuk rezim hukum
kekuasaan pemerintahan negara sebelumnya. Selain itu, berkaitan pula dengan
doktrin pembagian kekuasaan versus pemisahan kekuasaan.
Sebelum diadakan perubahan,
kedaulatan rakyat dianggap tercermin dalam kekuasaan lembaga tertinggi negara
yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dari lembaga tertinggi inilah, kekuasaan
dari rakyat dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara yang lain
secara distributif. Meskipun MPR membuat UUD yang status hukumnya lebih tinggi
daripada UU yang dibuat oleh DPR, tetap saja MPR tidak lebih tinggi daripada
DPR. Secra fungsional, DPR lah yang justru lebih penting karena fungsinya
bersifat rutin dan terus menerus.
Hal ini sama seperti Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung . mahkamah Konstitusi mengawal UUD, sedangkan Mahkamah
Agung mengawal UU. Siapa saja yang melanggar UU dan diadili oleh pengadilan di
lingkungan Mahkamah Agung. Begitu pula pengujian peraturan dibawah UU terhadap
UU sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945, dilakukan oleh
Mahkamah Agung.[3]
C.
Trias Politica Lembaga Negara
Secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat
dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat atau
disebut dengan Ornop atau Organisasi Nonpemerintah yang dalam bahasa Inggris
disebut Non-Government Organization atau Non-Governmental
Organizations (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan
sebagai lembaga masyarakat disebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara dapat
berada dalam ranah legislatif, yudikatif, eksekutif, ataupunyang bersifat
campuran.
Konsep lembaga negara ini dalam bahasa Belanda disebut staatsorgaan.
Dalam bahasa Indonesia identik dengan lembaga negara, badan negara, atau
disebut dengan organ negara. Akan tetapi, seperti yang diuraikan diatas, baik
pada tingkat nasional pusat maupun daerah, bentuk-bentuk organisasi negara dan
pemerintahan dalam perkembangan yang sangat pesat. Karena doktrin trias
politica yang biasa dinisbatkan dengan tokoh Montesquieu yang mengandaikan
tiga fungsi kekuasaan negara selalu harus tercermin dalam tiga jenis organ
negara.
Namun, karena pengaruh gagasan Montesquieu sangat mendalam dalam
cara berpikir, seringkali sangat sulit dari pengertian bahwa lembaga negara
selalu terkait dengan tiga cabang alat-alat perlengkapan negara, yaitu
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[4]
A.
Sistem
& Susunan Lembaga Perwakilan Rakyat (Legislatif) di Indonesia
UUD 1945 pra-amandemen menganut
system unicameral dengan menempatkan Majelis Permusywaratan Rakyat (MPR)
sebagai supremasi yang memegang penuh kedaulatan rakyat. Akibat dari itu timbul
ketimpangan ketatanegaraan terutama antar lembaga Negara, dimana akibat
superioritas tersebut MPR dapat memberikan justifikasi pada semua lembaga
Negara tanpa kecuali,sehingga eksistensi tiga kekuasaan lembaga
(legislatif,eksekutif, dan yudikatif) menjadi semu.[5]
1.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Setelah amandemen, MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga
tertinggi Negara dan pemegang kedaulatan rakyat tertinggi. Penghapusan system
lembaga tertinggi Negara adalah upaya logis untuk keluar dari perangkap desain
ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances
diantara lembaga-lembaga [6]Negara.
a.
Kedudukan
MPR
Dalam masa reformasi awal
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.4 tahun 1999 tentang
susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD,walaupun nama undang-undang itu jelas
menyebut “kedudukan ‘’ tapi tidak satu pasal pun yang mengatur kedudukan
MPR,DPR,DPRD dalam undang-undang tersebut.[7]
b.
Tugas
dan Wewenang
Secara jelas pasal 3
Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan tugas majelis yaitu :
a)
Mengubah
dan menetapkan Undang-Undang Dasar (Ayat1)
b)
Melantik
Presiden dan wakil presiden (Ayat2)
c)
Memberhentikan presiden atau Wapres dalam masa
jabatannya menurut UUD (Ayat 3 ).
Selanjutnya menurut pasal 11 UU nomor 12 tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD
menetapkan bahwa selain keempat hal
tersebut MPR memiliki tugas dan wewenang antara lain :
a)
Memutuskan
usul DPR berdasarkan mahkamah konstitusi untuk memberhentikan presiden dan
wapres dalam masa jabatannya
b)
Melantikwapres
menjadi presiden apabila mangkat,berhenti, diberhentikan atau tidak dapat
melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya
c)
Memilih
wapres dari dua calon yang diajukan presiden apabila terjadi kekosongan jabatan
wapres
d)
Memilih
presiden dan wapres apabila keduannya berhenti secra bersamaan dalam masa
jabatannya
e)
Menetapkan
peraturan tata tertib dank ode etik MPR[8]
2.
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
Setelah amandemen, DPR mengalami perubahan fungsi legislasi
yangsebelumnya berada ditangan presiden, maka setelah amandemen UUD 1945 fungsi
legislasi berpindah ke DPR.
a.
Susunan
, Kedudukan dan fungsi DPR
Dalam masa reformasi awal berdawarkan UU No.4 tahun 1999 tentang
susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD pasal 11 pengisian anggota DPR
dilakukan berdasarkan hasil pemilu dan pengangkatan. DPR terdiri atas (1)
anggota partai politik hasil pemilihan Umum dan (2) anggota ABRI yang diangkat.
b.
Tugas
dan Wewenangnya DPR
Dalam tugas dan kewenangan keberadaan DPR sangat dominan, karena
kompleksitas dalam tugas dan wewenangnya tersebut yaitu :
(1)DPR mempunyai kekuasaan membentuk
undang-undang, (2) setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat
persetujuan bersama, (3) jika RUU itu tidak mendapat persetujuan berasama RUU
itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu, (4) presiden
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU dan (5) dalam hal
RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam
waktu tiga puluh hari sejak RUU itu disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU
danwajib diundangkan.[9]
c.
Hak
dan Kewajiban DPR
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, berdasarkan pasal 20A
Ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 27 UU No.22 tahun 2003 tentang susunan dan
kedudukan MPR,DPR,DPD, dan DPRD menyatakan sebagai lembaga perwakilan rakyat
DPR memiliki hak antara lain : (1) hak interpelasi (2) hak angket dan (3) hak
menyatakan pendapat[10]
3.
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
Reformasi pada lembaga legislatif diantarannya adalah perubahan
system unicameral (yang telah menempatkan kedudukan MPR sebagai lembaga
tertinggi atau supremasi MPR ) menuju system bicameral dengan mengadakan perubahan
komposisi MPR dimana keanggotaan MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD
yang kesemuanya dipilih melalui pemilihan umum.
a.
Susunan
dan Kedudukan Adapun kedudukan DPD sebagai lembaga Negara ditentukan dalam
pasal 40 UU No.20 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR,DPD, dan DPRD menetapkan “ DPD
merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga Negara”
dan anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang
b.
Tugas
dan Wewenang
Mengenai kewenangan DPD,pasal 22D UUD 1945 menetapkan :
(1)DPD dapat mengajukan
kepada DPR rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang
berkaitan dengan perseimbangan keuangan pusat dan daerah (2) DPD ikut membahas
rancangan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah (3) DPD melakukan pengwasan
terhadap pelaksanaan undang-undang.[11]
A.
LEMBAGA
PEMERINTAHAN NEGARA (EKSEKUTIF)
Kekuasaan eksekutif menurut W.Ansley
Wynes sebagai kekuasaan dalam Negara yang melaksanakan undang-undang,
menyelenggarakan urusan pemerintahan dan mempertahankan tata tertib dan
keamanan baik didalam maupun diluar negeri.
1.
Presiden
a.
Pengisian
jabatan presiden
Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk
satu kali masa jabatan. Namun demikian, ia dapat diberhentikan dari masa
jabatannya oleh MPR atas usul DPR apabila terbukti melakukan perbuatan yang
melanggar ketentuan perundang-undangan setelah ada keputusan dari mahkamah
konstitusi ysang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi
syarat.[12]
D.
Hubungan antar Lembaga Negara di
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945
1.
Prinsip-Prinsip Hubungan Antar Lembaga
Negara
Perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu mengakibatkan pada
perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak saja karena adanya perubahan
terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan negara, tetapi
juga karena perubahan paradigma hukum dan ketatanegaraan. Beberapa
prinsip-prinsip mendasar yang menentukan hubungan antar lembaga negara
diantaranya adalah Supremasi Konstitusi, Sistem Presidentil, serta Pemisahan
Kekuasaan dan Check and Balances.
Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan Pasal
1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Ketentuan ini membawa implikasi bahwa kedaulatan
rakyat tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilakukan menurut
ketentuan Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara
di atas lembaga-lembaga tinggi negara.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut, UUD 1945 menjadi dasar hukum tertinggi
pelaksanaan kedaulatan rakyat. Hal ini berarti kedaulatan rakyat dilakukan oleh
seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan kewenangannya
berdasarkan UUD 1945. Jika berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
sebelum perubahan kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR dan kemudian
didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara, maka berdasarkan hasil
perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 kedaulatan tetap berada di tangan rakyat
dan pelaksanaannya langsung didistribusikan secara fungsional (distributed
functionally) kepada organ-organ konstituonal.
Konsekuensinya, setelah Perubahan UUD 1945 tidak dikenal lagi
konsepsi lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Lembaga-Iembaga negara
yang merupakan organ konstitusional kedudukannya tidak lagi seluruhnya
hierarkis di bawah MPR, tetapi sejajar dan saling berhubungan berdasarkan
kewenangan masing-masing berdasarkan UUD 1945.
Sebelum adanya Perubahan UUD 1945, sistem pemerintahan yang dianut
tidak sepenuhnya sistem presidentil. Jika dilihat hubungan antara DPR sebagai
parlemen dengan Presiden yang sejajar (neben), serta adanya masa jabatan
Presiden yang ditentukan (fix term) memang menunjukkan ciri sistem
presidentil. Namun jika dilihat dari keberadaan MPR yang memilih, memberikan
mandat, dan dapat memberhentikan Presiden, maka sistem tersebut memiliki
ciri-ciri sistem parlementer. Presiden adalah mandataris MPR dan sebagai
konsekuensinya Presiden bertanggung jawab kepada MPR dan MPR dapat
memberhentikan Presiden.
Salah satu kesepakatan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 terkait
Perubahan UUD 1945 adalah “sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil
(dalam pengertian sekaligus menyempumakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri
umum sistem presidensiil). Penyempurnaan dilakukan dengan
perubahan-perubahan ketentuan UUD 1945 terkait sistem kelembagaan. Perubahan
mendasar pertama adalah perubahan kedudukan MPR yang mengakibatkan kedudukan
MPR tidak lagi merupakan lembaga tertinggi negara, sebagaimana telah dibahas
sebelumnya. Perubahan selanjutnya untuk menyempurnakan sistem presidentil
adalah menyeimbangkan legitimasi dan kedudukan antara lembaga eksekutif dan
legislatif, dalam hal ini terutama antara DPR dan Presiden. Hal ini dilakukan
dengan pengaturan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang
dilakukan secara langsung oleh rakyat dan mekanisme pemberhentian dalam masa
jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 6A, 7, 7A, dan 8 UUD 1945. Karena
Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka memiliki
legitimasi kuat dan tidak dapat dengan mudah diberhentikan kecuali karena
melakukan tindakan pelanggaran hukum.
Proses usulan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden tidak
lagi sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme politik, tetapi dengan mengingat
dasar usulan pemberhentiannya adalah masalah pelanggaran hukum, maka proses
hukum melalui Mahkamah Konstitusi harus dilalui. Di sisi yang lain, kekuasaan
Presiden membuat Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD
1945 sebelum Perubahan, diganti dengan hak mengusulkan rancangan undang-undang
dan diserahkan kepada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
Selain itu juga ditegaskan Presiden tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana
diatur dalam Pasal 7C UUD 1945.
2.
Pemisahan Kekuasaan
dan Check and Balances
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan
pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi sering disebut dengan
istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden tidak
hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) tetapi juga
memegang kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuasaan legislatif
bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislator-nya. Sedangkan, masalah kekuasaan
kehakiman (yudikatif) dalam UUD 1945 sebelum perubahan dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Dengan adanya perubahan kekuasaan pembentukan undang-undang yang
semula dimiliki oleh Presiden menjadi dimiliki oleh DPR berdasarkan hasil
Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), maka yang
disebut sebagai lembaga legislatif (utama) adalah DPR, sedangkan lembaga
eksekutif adalah Presiden. Walaupun dalam proses pembuatan suatu undang-undang
dibutuhkan persetujuan Presiden, namun fungsi Presiden dalam hal ini adalah
sebagai co-legislator sama seperti DPD untuk materi undang-undang
tertentu, bukan sebagai legislator utama. Sedangkan kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan di bawahnya) dan
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Hubungan antara kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh Presiden,
kekuasaan legislatif oleh DPR (dan dalam hal tertentu DPD sebagai co-legislator),
dan kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh MA dan MK merupakan perwujudan
sistem checks and balances. Sistem checks and balances dimaksudkan
untuk mengimbangi pembagian kekuasaan yang dilakukan agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga pemegang kekuasaan tertentu atau terjadi
kebuntuan dalam hubungan antar lembaga. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan
suatu kekuasaan selalu ada peran lembaga lain.
Dalam pelaksanaan kekuasaan pembuatan undang-undang misalnya,
walaupun ditentukan kekuasaan membuat undang-undang dimiliki oleh DPR, namun
dalam pelaksanaannya membutuhkan kerja sama dengan co-legislator, yaitu
Presiden dan DPD (untuk rancangan undang-undang tertentu). Bahkan suatu
ketentuan undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPR dan
Presiden serta telah disahkan dan diundangkan pun dapat dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK jika dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945.
Di
sisi lain, Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya mendapatkan
pengawasan dari DPR. Pengawasan tidak hanya dilakukan setelah suatu kegiatan
dilaksanakan, tetapi juga pada saat dibuat perencanaan pembangunan dan alokasi
anggarannya. Bahkan kedudukan DPR dalam hal ini cukup kuat karena memiliki
fungsi anggaran secara khusus selain fungsi legislasi dan fungsi pengawasan
sebagaimana diatur pada Pasal 20A UUD 1945. Namun demikian kekuasaan DPR juga
terbatas, DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden dan atau Wakil Presiden kecuali
karena alasan pelanggaran hukum. Usulan DPR tersebut harus melalui forum hukum
di MK sebelum dapat
BAB
III
KESIMPULAN
Perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu mengakibatkan pada
perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak saja karena adanya perubahan
terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan negara, tetapi
juga karena perubahan paradigma hukum dan ketatanegaraan. Beberapa
prinsip-prinsip mendasar yang menentukan hubungan antar lembaga negara
diantaranya adalah Supremasi Konstitusi, Sistem Presidentil, serta Pemisahan
Kekuasaan dan Check and Balances.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut, UUD 1945
menjadi dasar hukum tertinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Hal ini berarti
kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan
masing-masing fungsi dan kewenangannya berdasarkan UUD 1945. Jika berdasarkan
ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan kedaulatan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR dan kemudian didistribusikan kepada lembaga-lembaga tinggi
negara, maka berdasarkan hasil perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 kedaulatan
tetap berada di tangan rakyat dan pelaksanaannya langsung didistribusikan
secara fungsional (distributed functionally) kepada organ-organ
konstituonal
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan
pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi sering disebut dengan
istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden tidak
hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) tetapi juga
memegang kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuasaan legislatif
bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislator-nya. Sedangkan, masalah kekuasaan
kehakiman (yudikatif) dalam UUD 1945 sebelum perubahan dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Dengan adanya perubahan kekuasaan pembentukan undang-undang yang semula
dimiliki oleh Presiden menjadi dimiliki oleh DPR berdasarkan hasil Perubahan
UUD 1945, terutama Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), maka yang disebut
sebagai lembaga legislatif (utama) adalah DPR, sedangkan lembaga eksekutif
adalah Presiden. Walaupun dalam proses pembuatan suatu undang-undang dibutuhkan
persetujuan Presiden, namun fungsi Presiden dalam hal ini adalah sebagai co-legislator
sama seperti DPD untuk materi undang-undang tertentu, bukan sebagai
legislator utama. Sedangkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung
(dan badan-badan peradilan di bawahnya) dan Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
DAFTRA PUSTAKA
Tutik
Trisulan, 2010, Kobstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca amandem UUD 1945,
Jakarta
Assiddiqie
Jimly, 2010, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara pasca Reformasi,
jakarta
http//www.tips/document/lemaga-negara.pdf/25-04-2016
http//www.kedudungan-lembaga-negara-pasca-amandement.pdf
[3] Jimly Asshinddiqie,
perkembangan dan konsolidasi lembaga negara pasca reformasi, (Sinar Grafika,
Jakarta, 2010). Hlm37
[5] Titik Triwulan Tutik,S.H., M.H.Konstruksi Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945,2010(Jakarta:kencana)hlm185.
[6] Ibid., hlm.186.
[7] Ibid., hlm 188.
[8] Titik Triwulan Tutik,S.H., M.H.Konstruksi Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945,2010(Jakarta:kencana)hlm190-191.
[9] Ibid.,hlm192-194
[10] Titik Triwulan Tutik,S.H., M.H.Konstruksi Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945,2010(Jakarta:kencana)hlm195.
[11] Ibid., 196-198.
[12] Titik Triwulan Tutik,S.H., M.H.Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca-Amandemen UUD 1945,2010(Jakarta:kencana)hlm198-202
peler cacat
BalasHapus